Jumat 24 Feb 2023 16:47 WIB

RUU Kesehatan Disebut Persulit Tingkatkan Partisipasi BPJS Kesehatan

Posisi BPJS harus dibantu dengan independensi langsung ke presiden.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Gita Amanda
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, dengan adanya kemungkinan RUU Kesehatan disahkan, akan mempersulit posisi dari BPJS Kesehatan. (ilustrasi).
Foto: ANTARA/Iggoy el Fitra
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, dengan adanya kemungkinan RUU Kesehatan disahkan, akan mempersulit posisi dari BPJS Kesehatan. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, dengan adanya kemungkinan RUU Kesehatan disahkan, akan mempersulit posisi dari BPJS Kesehatan. Menurutnya, BPJS Kesehatan yang akan berada di bawah Kementerian Kesehatan, terkesan hanya mengikuti arahan ihwal memberi pandangan sejajar dengan dewan pengawas atau kementerian terkait.

“Target 273 juta partisipasi masyarakat nggak bisa BPJS sendiri. Kalau BPJS Kesehatan punya bargaining lemah, tidak akan tercapai 273 juta,” kata Timboel di Jakarta kepada awak media, Jumat (24/2/2023).

Baca Juga

Dia menambahkan, menarik partisipasi lebih dari masyarakat memang memerlukan kerja sama dengan lembaga dan institusi lain di samping BPJS Kesehatan. Menurut dia, posisi BPJS harus dibantu dengan independensi langsung ke presiden.

“RUU ini harusnya memperkuat atau memperbaiki sistem jaminan sosial saat ini, bukan berarti dicaplok,” kata dia

Timboel menjelaskan, memang ada relevansi penggabungan sesuai aturan yang ada, termasuk bagi pelayanan kesehatan dalam transformasinya. Namun demikian, dia meminta tidak ada tumpang tindih institusi yang membawahi BPJS karena dikhawatirkan adanya konflik kepentingan.

“Kita harapkan DPR terbuka. RUU memang harus terbuka, naskah akademik harus bisa dibaca. Jangan tau-tau jadi UU,” katanya.

Dirinya menyinggung, omnibus law yang mencakup RUU Kesehatan ini cenderung dilaksanakan dengan buru-buru ihwal matang-matang. “Apalagi kita mau pemilu,” jelasnya.

Di lokasi yang sama, Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti juga mengatakan hal yang serupa. Menurutnya, BPJS tidak bisa disandingkan dengan langsung dengan UU kesehatan. “Karena itu bagian yang berbeda antara kesehatan dan jaminan sosial,” kata Bivitri.

Dia meminta, pihak terkait agar tidak menyodorkan masyarakat pada kebijakan yang masih kacau layaknya UU Cipta Kerja.

Menyoal RUU Kesehatan, di mana Kemenkes akan membawahi BPJS Kesehatan, kata Bivitri, dinilai kurang baik. Pasalnya, ditilik dari hukum tata negara, pengawasan lembaga jaminan sosial tidak perlu harus melewati kementerian untuk ditujukan kepada presiden.

“Karena sudah ada fungsi Dewan Pengawas, ada prosedur terhadap pelaporan yang sudah ada di BPJS saat ini juga,” ucapnya.

Sejauh ini, Badan Legislasi (Baleg) DPR telah menyetujui Rancangan Undang-undang tentang Kesehatan Omnibus Law agar dibawa ke Rapat Paripurna. Tujuannya, agar disetujui sebagai inisiatif DPR dan diproses hingga akhirnya menjadi UU.

Menurut Wakil Ketua Baleg DPR, Achmad Baidowi, dari sembilan fraksi di parlemen memang mayoritas setuju untuk melanjutkan RUU ini ke tahap selanjutnya. “Delapan fraksi menyatakan persetujuan menjadi usulan inisiatif DPR dengan beberapa catatan,” kata Baidowi.

Namun demikian, nyatanya hal itu mendapat penolakan dari berbagai pihak. Pasalnya, selain membawahi BPJS Kesehatan, RUU juga akan mencabut UU keprofesian dokter dari yang selama ini ada di IDI, dan berpindah ke Kemenkes.

Timboel mengkritik, hal ini juga merupakan kelemahan dari RUU Kesehatan. Utamanya, saat ada hal yang telah baik namun diubah tanpa persiapan dan sumber daya yang mencukupi di Kemenkes. Dirinya khawatir, dengan kebijakan yang dasarnya baik, akan menjadi kacau dengan banyaknya hal yang perlu diimplementasikan.

Fraksi PKS DPR diketahui menjadi satu-satunya fraksi yang menolak RUU Kesehatan. Menurut Anggota Komisi IX dari fraksi PKS, Ansori Siregar, penolakan fraksi didasarkan pada perancangan RUU Kesehatan yang terburu-buru hingga menimbulkan kekosongan hukum dan kontradiksi peraturan.

“Kami fraksi PKS dengan mengucapkan Bismilahirrahmanirrahim menolak draft RUU Kesehatan menjadi RUU inisiatif DPR,” kata Ansori.

Selain PKS, beberapa lembaga yang terkait dengan Komisi IX DPR seperti IDI hingga organisasi buruh juga menolaknya. Menurut Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto, penolakan itu karena adanya pencabutan UU kedokteran, keperawatan jika mengacu pada Omnibus Law.

Pihaknya mengancam untuk melakukan aksi besar jika RUU disahkan. “Kami akan melakukan aksi lebih masif,” kata Slamet beberapa waktu lalu.

Di lain pihak, Ketua Umum Partai Buruh Said Iqbal juga menyepakati IDI. Menurut dia, RUU Kesehatan malah bisa menciptakan situasi kesehatan yang kurang baik bagi berbagai pihak.

Selain itu, dia menyebut jika RUU Kesehatan bisa merugikan pihak buruh karena urusan BPJS yang ada. Pihaknya kecewa, mengingat publik tidak dilibatkan lebih jauh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement