Rabu 22 Feb 2023 17:59 WIB

Warga Kampung Gedong Pompa, Jakut Krisis Air Bersih Lebih dari Dua Dekade

Warga di pesisir utara Jakarta menunggu 22 tahun mendapatkan layanan air bersih.

Rep: Eva Rianti/ Red: Erik Purnama Putra
Kampung Gedong Pompa di Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara (Jakut), Rabu (22/2/2023), sudah dua dekade lebih tidak terlayani air bersih.
Foto: Republika.co.id/Eva Rianti
Kampung Gedong Pompa di Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara (Jakut), Rabu (22/2/2023), sudah dua dekade lebih tidak terlayani air bersih.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebih dari dua puluh tahun, warga RT 20, RW 17, Kampung Gedong Pompa, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara (Jakut) hidup tanpa akses air bersih yang memadai. Sejak 2001, warga dijanjikan untuk mendapatkan fasilitas aliran air bersih.

Namun, janji 22 tahun lalu tidak pernah terealisasi hingga sekarang. Alhasil, mereka harus menguras kocek lebih dalam untuk membeli air bersih.

Seorang warga Kampung Gedong Pompa, Sri (68 tahun), mengatakan, sejak lebih dari dua dekade, dirinya harus membeli air bersih setiap harinya setidaknya lima pikul. Adapun harga air bersih per pikul Rp 4.000.

Artinya, Sri dalam sehari harus menganggarkan uang sebanyak Rp 20 ribu untuk membeli air bersih atau setara Rp 600 ribu per bulan. "Sulit banget (dapat air bersih). Kita palingan beli, nanti dianterin ke drum masing-masing sama yang jualan. Per hari saya keluarin uang Rp 20 ribu untuk beli air bersih," kata Sri saat ditemui Republika.co.id di Kampung Gedong Pompa, Jakut, Rabu (22/2/2023).

Sri mengaku. cukup berat mengeluarkan uang yang besar untuk memperoleh akses air bersih. Air bersih yang dibeli tersebut digunakan, di antaranya untuk mandi dan mencuci. Namun, kadangkala ia memanfaatkan air sumur saat musim penghujan. "Air sumur kalau musim kemarau rada kuning, cuma disaring pakai kaus kaki atau semacamnya biar agak lebih jernih," tutur Sri.

Menurut pengakuannya, krisis air bersih telah dialami sejak lama dan seolah-olah sudah menjadi hal yang lumrah di kampungnya. Sri bercerita, bahkan dahulu kerapkali menunda keinginan untuk mandi karena tidak tersedianya air bersih.

"Dulu pernah mandinya dua hari sekali, cuma berapa gayung saja cukup. Sekarang, alhamdulillah sudah ada air (dengan membeli), cuma kalau ada bantuan dari pemerintah selalu enggak dapat karena jaraknya jauh, orang pada rebutan," ceritanya.

Warga lainnya bernama Dairah (72) mengaku juga menganggarkan uang cukup besar yakni hingga Rp 30 ribu per hari untuk membeli air bersih atau nyaris menyentuh angka Rp 1 juta per bulan. Air tersebut digunakan oleh sebanyak lima anggota keluarganya untuk mandi dan mencuci.

"Jelas lah (terbebani), kita orang enggak punya. Mahal itu. Seringnya saya enggak mandi sore jadinya. Lagian sudah tua, airnya buat yang muda, muda. Saya menghemat saja," ungkapnya.

Rasa terbebani atas krisis air bersih juga diungkapkan secara gamblang oleh Armayanti (38). Dia menuturkan, biaya untuk air bersih lebih besar dibandingkan untuk membayar sewa rumah.

"Sewa rumah kontrakan saya di sini Rp 350 ribu. Buat beli air bersih setidak-tidaknya Rp 450 ribu untuk saya berdua bersama suami. Jadi lebih besar biaya air daripada sewa tempat tinggal, biaya hidup mahal di air," tuturnya.

Armayanti mengatakan, sebenarnya kondisi saat ini lebih baik dibanding dua dekade yang lalu. Seiring berjalannya waktu dengan masalah utama yang terjadi di Kampung Gedong Pompa, sudah ada puluhan penjual air bersih, jauh lebih banyak daripada sekitar tahun 1990-an hingga 2000 yang hanya dua orang penjual saja.

Namun, biaya yang dikeluarkan untuk membeli air terasa masih sangat membebani. Sri, Dairah, dan Armayanti senada mengungkapkan berharap agar ada aliran air PAM yang telah dijanjikan sejak tahun 2001 lalu.

"Air PAM lebih murah. Tapi dari dulu sampai sekarang enggak jadi-jadi dialirin airnya ke sini," seru Armayanti, satu suara dengan Sri dan Dairah.

Sementara itu, Ketua RT 20, RW 17, Kampung Gedong Pompa, Nurrachman mengatakan, ada sebanyak 800 kepala keluarga (KK), yang 292 KK di antaranya pemilik rumah, selebihnya pengontrak, yang tinggal di wilayahnya saat ini. Ratusan KK tersebut nasibnya sama, kesulitan air bersih yang tak kunjung temu solusi.

"Kesulitan air bersih dari 2001. Waktu itu sudah dilakukan pemasangan pipa, tapi sampai sekarang belum mendapatkan air bersih, dulu Palyja (penyuplai air bersih), sekarang PAM Jaya. Rencana mundur-mundur terus, belum juga terealisasi," ujarnya.

Mirisnya, Nurrachman dan ratusan warga lainnya justru mendapatkan abonemen yang angkanya per KK sekitar Rp 1 juta hingga Rp 3 juta. Namun, ia mengaku, satu suara dengan para warganya untuk tidak membayarkan denda tersebut karena tidak merasakan air bersih.

Nurrachman menyebut, masih menunggu iktikad baik dari PAM Jaya untuk membicarakan permasalahan air bersih yang dialami oleh para warganya. "Informasinya pelaksanaan proyek akan dilimpahkan ke PAM Jaya pada 2023, tapi pelaksanaan kembali pemasangan pipanya lalu dialirkan airnya kapan kita enggak tahu," katanya.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement