REPUBLIKA.CO.ID, MAMUJU – Pada 2024, terdapat 179 serangan buaya di Indonesia, jumlah serangan buaya tertinggi di dunia. Dari jumlah itu, sebanyak 92 orang meninggal, menurut CrocAttack, sebuah database independen. Video di media sosial yang menunjukkan penampakan dan serangan buaya di Sulawesi dan wilayah lain di Indonesia juga meningkat.
Di desa-desa sekitar Sungai Budong-Budong di Mamuju, Sulawesi Barat, buaya menjadi topik perbincangan sehari-hari. Kehadiran buaya menjadi hal biasa sehingga kini ada tanda peringatan yang menandai area di mana mereka mengintai, mulai dari muara sungai hingga saluran air yang dulunya merupakan tempat berenang bagi anak-anak.
Peningkatan serangan dimulai sekitar 12 tahun lalu dengan maraknya perkebunan kelapa sawit di sekitar muara sungai, kata Rusli Paraili, seorang pawang buaya berusia 39 tahun. Beberapa perusahaan membuat saluran air buatan, menghubungkannya dengan sebagian besar Sungai Budong-Budong. Saat itulah buaya mulai tersesat, meninggalkan sungai dan merayap ke pemukiman sekitar, seperti tambak ikan dan udang, jelasnya.
Perkebunan kelapa sawit kini mendominasi lanskap di Sulawesi Barat, mulai dari pegunungan hingga pesisir, dan patroli buaya telah menjadi bagian dari rutinitas masyarakat sehari-hari. Ketika warga memeriksa pompa air di kolam mereka, mereka tidak punya pilihan selain mewaspadai hewan-hewan tersebut – dengan senter di tangan, menjelajahi kanal dan saluran air – dan pasrah pada kenyataan tidak nyaman karena berbagi rumah dengan predator.
Buaya air asin telah menjadi spesies yang dilindungi secara hukum di Indonesia sejak 1999, menjadikannya hewan yang tidak bisa diburu secara bebas. Ini meneguhkan buaya sebagai predator puncak, sementara di alam juga tidak ada pengendalian populasi.
Paraili, sang pawang buaya, mengatakan meskipun undang-undang melindungi buaya dari pembunuhan, peningkatan serangan merupakan kekhawatiran utama. Sebagai tanggapan, dia merawat beberapa buaya di peternakan yang dirancang khusus, jauh dari populasi manusia. Ia menerima sejumlah dukungan finansial dari sumbangan pemerintah dan masyarakat, serta dukungan dari perusahaan kelapa sawit selama lima tahun terakhir.

Peternakan ini memiliki empat kolam dan sekitar 50 reptil. Ada yang mempunyai nama: Tanker, yang terbesar, berbentuk seperti kapal, atau Karossa, dinamai menurut nama kecamatan tempat hewan itu ditangkap setelah menyerang seseorang secara fatal. Ketika dana hampir habis, dia menggunakan uangnya sendiri untuk memastikan mereka diberi makan, setidaknya setiap empat hari sekali.
Amir Hamidy, yang mempelajari reptil di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), khawatir peningkatan serangan mengindikasikan bahwa jumlah buaya menjadi terlalu berbahaya. Hamidy mendukung pengendalian populasi yang lebih baik. Menjadi spesies yang dilindungi “bukan berarti populasinya tidak bisa dikurangi jika berada pada tingkat yang memang tidak aman,” katanya.
Suyuti Marzuki, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Barat, mengatakan pergeseran habitat buaya membuat aktivitas sehari-hari masyarakat – seperti memanen kelapa, memancing, atau bahkan membuang sampah – sangat berisiko.
Marzuki mengatakan pemerintah sedang mencari opsi yang dapat memberikan alternatif keselamatan dan ekonomi bagi warga. Meskipun ia mengakui bahwa jumlah populasi buaya dan ekosistemnya perlu dilindungi, Marzuki juga mengangkat kemungkinan untuk memperkuat perekonomian lokal melalui perdagangan kulit buaya. Industri itu kontroversial karena masalah konservasi dan kesejahteraan hewan.
Paraili, sang pawang buaya, juga mendesak adanya intervensi pemerintah yang serius. “Ini adalah masalah nyawa manusia. Jadi kalau pemerintah tidak serius, maka saudara kita ke depan – 5 atau 15 tahun lagi – akan lebih banyak lagi yang mati karena diserang buaya,” ujarnya.
Sementara, warga Mamuju di sekitar Sungai Budong-Budong seperti Munirpa (47 tahun) menunggu langkah-langkah yang lebih cepat dan realistis dari pihak berwenang untuk menjamin keselamatan komunitas dan keluarga mereka.

Munirpa menceritakan bagaimana suatu pagi di bulan Agustus tahun lalu, dia membuang sampah rumah tangganya ke sungai kecil yang berjarak sekitar 50 meter dari rumahnya, seperti yang biasa dia lakukan. Pada saat dia menyadari seekor buaya telah menyerangnya, binatang sepanjang empat meter itu telah menancapkan giginya ke sebagian besar tubuhnya, hanya menyisakan kepalanya.
Dia berjuang keras, mencoba menusuk matanya. Suaminya, mendengar teriakannya, berlari mendekat dan mencoba menarik pahanya keluar dari rahang buaya. Tarik menarik pun terjadi; reptil itu mencambuknya dengan ekornya. Untungnya, dia menyelamatkan Munirpa tepat waktu, akhirnya menyeretnya keluar dari cengkeraman buaya.
Pascaserangan tersebut, Munirpa dirawat di rumah sakit selama sebulan dan telah menjalani dua kali operasi. Pada bulan Februari tahun ini, ketakutannya masih terlihat jelas, begitu pula bekas luka di kaki dan pahanya. “Cukup saja saya digigit buaya,” kata Munirpa. “Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi pada anak-anak saya.”
Sekitar setahun yang lalu di Desa Tumbu, Suardi, sedang memanen buah kelapa yang terjatuh ke sungai. Ketika dia pergi untuk mengambilnya, dia diserang oleh buaya. Dia telah pulih sepenuhnya.
Meski begitu, pengalaman tersebut membuatnya lebih berhati-hati. “Ya, saya khawatir. Tapi apa lagi yang bisa kami lakukan,” kata Suardi. “Yang penting kita hati-hati.” Selain Munirpa, Suardi merupakan satu dari 10 orang di wilayah tersebut yang diserang buaya tahun lalu. Tiga dari mereka yang diserang tewas.