Senin 20 Feb 2023 19:26 WIB

MK di Tengah Polemik Revisi UU dan Gugatan Sistem Proporsional Pemilu

DPR kembali mengusulkan revisi UU MK meski terakhir baru disahkan pada 2020.

[ilustrasi] Suasana sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Foto:

Setelah adanya usulan revisi UU MK, dua pentolan Partai Demokrat angkat bicara. Pertama adalah Wakil Ketua Umum Partai Demokrat yang juga anggota Komisi III Benny K Harman.

Benny menilai, sesungguhnya tak ada urgensi untuk merevisi UU MK. Tak segan ia menyebut, revisi tersebut dilakukan untuk menjadikan lembaga hukum tersebut sebagai alat untuk meloloskan dan menyingkirkan orang-orang tertentu.

Kredibilitas MK sudah terganggu sejak lama. Bahkan tak segan ia menyebut, lembaga tersebut sudah tak dapat diharapkan lagi oleh masyarakat untuk menjaga konstitusi dan seakan berubah menjadi pelindung kekuasaan.

"Mahkamah Konstitusi telah berubah menjadi penjaga kekuasaan, itu harus disadari oleh hakim Mahkamah Konstitusi," ujar Benny.

"Saat ini saya hanya ingatkan MK jangan sekali-kali menjadi alat kekuasaan, itu kan peringatan," sambungnya menegaskan

Selang beberapa hari, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat yang juga Presiden keenam Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga angkat bicara terkait MK. Namun ia tak membicarakan ihwal revisi UU MK, melainkan gugatan terhadap sistem proporsional terbuka di lembaga tersebut.

SBY mengaku telah mendapatkan informasi bahwa MK akan segera mengeluarkan putusannya. Ia sendiri tak dalam posisi menentukan mana yang lebih baik antara sistem proporsional terbuka dan tertutup. 

Namun, ia mengingatkan MK bahwa lembaga tersebut tengah menangani hal yang sangat fundamental dan berkaitan dengan masyarakat.

"Hakikatnya, salah satu fundamental konsensus dalam perjalanan kita sebagai bangsa. Apalagi, putusan MK bersifat final dan mengikat. Bagaimana jika putusan MK itu keliru? Tentu bukan sejarah seperti itu yang diinginkan oleh MK, maupun generasi bangsa saat ini," ujar SBY lewat keterangannya, Ahad (19/2/2023).

SBY sangat mengerti bahwa sistem pemilu memang dapat diganti, mengingat konstitusi saja dapat diubah. Namun dalam perubahannya, hal tersebut harus dapat menjawab tiga pertanyaan, yakni apa, kenapa, dan bagaimana.

Dalam perjalanan ke depan, Indonesia harus memiliki budaya untuk selalu mengedepankan kekuatan alasan. Permasalahan bangsa mesti dilihat secara utuh dan seraya tetap berorientasi ke depan, serta untuk memenuhi aspirasi besar rakyatnya.

Perubahan sistem pemilu itu bukanlah keputusan dan kebijakan yang biasa. Dalam perubahannya perlu dilakukan dalam proses dan kegiatan manajemen nasional, tak bisa semata-mata dilakukan di tengah tahapan kontestasi yang sedang berlangsung.

SBY menegaskan, rakyat harus diajak dalam pembahasan perubahan sistem pemilu. Rakyat juga sangat perlu diberikan penjelasan yang gamblang tentang rencana penggantian sistem pemilu itu. Termasuk perbedaan sistem proporsional terbuka dan tertutup.

Sebab, dalam tatanan kehidupan bernegara dan berdemokrasi yang baik, ada semacam konvensi yang bersifat tertulis dan tidak. Jika hendak melakukan perubahan yang bersifat fundamental, pada hakikatnya rakyat perlu diajak bicara.

"Rakyat sungguh perlu diberikan penjelasan tentang rencana penggantian sistem pemilu ini, karena dalam pemilihan umum merekalah yang paling berdaulat. Inilah jiwa dan napas dari sistem demokrasi," ujar SBY.

 

photo
Tiga Parpol Berpeluang Menang di Pemilu 2024 - (infografis Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement