REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu krusial pidana mati termaktub dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Pasal 100. Terpidana mati pun tidak langsung dieksekusi melainkan dapat mengikuti masa percobaan 10 tahun dengan syarat tertentu.
Dalam RUU KUHP Pasal 100 Ayat 1 mencatat, bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun jika: A. Rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri, atau B. Peran terdakwa dalam tindak pidana, dan C. Ada alasan yang meringankan.
"Tenggang waktu masa percobaan sepuluh tahun dimulai satu hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap," tulis RUU KUHP.
Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.
"Jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung," bunyi pasal dalam RUU KUHP.
Menurut rilis pers Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada 2022, hukuman mati merupakan special punishment, bukan main punishment. Artinya, apabila seorang terpidana berkelakuan baik akan dapat diberikan penurunan hukuman menjadi penjara seumur hidup atau dua puluh tahun penjara.
Dalam konferensi persnya terkait RUU KUHP 2022 lalu, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, KUHP bersifat humanis. Salah satu contohnya adalah diakhirinya pro dan kontra terkait pidana mati.
"Dalam KUHP pidana mati bersifat khusus yang selalu diancamkan secara alternatif yaitu dengan masa percobaan selama 10 tahun sehingga dengan asesmen yang terukur dan objektif pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan keputusan presiden atau pidana penjara sementara waktu yang maksimum nya adalah 20 tahun," kata Eddy kala itu.
Putusan vonis mati mantan kadiv Propam Polri Ferdy Sambo pada Senin (13/2/20230) menghidupkan kembali perhatian publik tentang pasal-pasal pidana mati yang ada di Indonesia. Bahkan, video dari pengacara Hotman Paris soal hukuman mati kembali beredar.
"RUU KUHP yang baru menyebutkan meskipun hukuman mati sudah diberikan, eksekusinya tidak dapat dilakukan dengan segera. Terpidana hanya bisa dieksekusi setelah menjalani masa penjara selama 10 tahun. Nah sepuluh tahun itu akan digunakan untuk menilai tingkah laku terpidana dan apakah mereka berperilaku baik atau tidak," kata Hotman Paris dalam video tersebut.
"Yah nanti bakal mahal deh surat keterangan kelakukan baik oleh kepala lapas penjara daripada dihukum mati. Orang berapa pun bakal mau mempertaruhkan apapun demi dapat surat kelakuan baik untuk tidak dihukum mati," tambah Hotman.
Hukuman mati harus nunggu 10 tahun agar bisa dieksekusi, dan kalau 10 tahun dapat surat keterangan kelakuan baik maka hukuman matinya tidak boleh dilaksanakan
Undang-undang siapa sih ini yang bikin ini? Yang bikin ini pasti bukan praktisi hukum...~ Hotman Paris
CV @Humaira922 pic.twitter.com/TElEchyoEF
— Maudy Asmara (@Mdy_Asmara1701) February 13, 2023