REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Boy Rafli Amar mengaku ratusan eks narapidana terorisme (napiter) kembali menjadi residivis kasus terorisme. Jumlah itu dihitung dari ribuan eks napiter yang mengikuti kegiatan deradikalisasi di luar lembaga pemasyarakatan (lapas).
Sementara untuk kegiatan deradikalisiasi di dalam lapas, Boy menyebut BNPT telah melakukan 355 kegiatan deradikalisasi terhadap 475 napiter yang tersebar di 62 lapas dan satu Lapas khusus teroris kelas IIB Sentul, Jawa Barat.
"Di luar lapas, BNPT telah melaksanakan kegiatan deradikalisasi terhadap 1.192 orang atau kelompok orang eks napiter. Dari total eks napiter yang terindikasi sejumlah 1.036, sebanyak 116 (eks napiter) kembali menjadi residivis kasus terorisme, dari data tersebut 19 orang masih berada di dalam Lapas," kata Boy dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (13/2/2023).
Boy menyebut beberapa eks napiter yang kembali menjadi residivis terorisme itu di antaranya adalah Agus Sujatno. Ia merupakan pelaku bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar, Bandung, pada 7 Desember 2022.
"Kami tentu tidak ingin aksi bom bunuh diri ini terjadi kembali. Oleh karena itu BNPT berkomitmen untuk meningkatkan pengawasan terhadap eks narapidana terorisme yang khususnya berstatus masih merah," ujarnya.
Ia pun mengatakan di antara para eks napiter yang keluar dari lapas tidak semuanya telah berikrar setia kepada NKRI dan menginsyafi perbuatannya. Sehingga hal itu disebutnya menjadi tantangan bagi BNPT ke depan.
"Setidak-tidaknya dalam data kami sekitar 80 persen adalah bagian dari mereka-mereka yang masih bersikukuh dengan pendiriannya, dengan ideologinya. Jadi karena memang kita menghadapi kelompok kita menghadapi kelompok yang memang di antara mereka masih ada yang yakin dengan apa yang diyakini adalah sebagai sebuah kebenaran. Inilah tantangan kita di masa yang akan datang," tuturnya.
Menurut dia, hal itu karena para eks napiter tersebut mengalami kekeliruan dalam berpikir atau distorsi kebenaran. Sehingga pemberian hukuman tahanan dan program deradikalisasi menjadi sulit untuk memberikan efek jera.
"Jadi fakta-fakta itulah yang mendorong pada akhirnya ketika ada ajakan-ajakan dari pihak-pihak lain yang sebenarnya dia pernah terkait, dia ulangi lagi. Jadi memang kita mengevaluasi masalah ini dan kemudian pentingnya kolaborasi dalam pengawasan yang kita tingkatkan," kata Boy yang ditemui usai raker.