Jumat 03 Feb 2023 23:08 WIB

Ekosistem Riset Bermasalah, Penggantian Kepala BRIN Saja tak Cukup

Periset merasa terkekang dengan pemenuhan output riset berupa publikasi jurnal.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Lida Puspaningtyas
Dr Susanti, peneliti dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) yang mengemban BioColoMelt – Dx, diagnostic kit yang dapat mengidentifikasi kelainan genetik pada kasus pasien kanker dan keluarga pasien kanker.
Foto: Dokumen
Dr Susanti, peneliti dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) yang mengemban BioColoMelt – Dx, diagnostic kit yang dapat mengidentifikasi kelainan genetik pada kasus pasien kanker dan keluarga pasien kanker.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Wasisto Raharjo Jati, menilai penggantian sosok kepala bukan solusi utama untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di BRIN. Menurut dia, pembentukan ekosistem yang belum sepenuhnya benar yang menjadi masalah terpenting saat ini.

"Saya pikir mengganti kepala saja itu bukan solusi utama. Jadi yang paling penting menurut saya pribadi adalah pembentukan ekosistem kita yang belum sepenuhnya benar," ungkap Wasisto lewat sambungan telepon, Jumat (3/2/2023).

Baca Juga

Dia mengambil sejumlah contoh masalah dalam ekosistem riset yang dia maksud, seperti masalah birokratisasi pengetahuan, penilaian pemberian gaji yang adil bagi periset, termasuk periset yang berprestasi di dalam risetnya, dan fasilitas bagi periset untuk bisa melakukan penelitian. Menurut Wasisto, semua itu sejauh ini agak dilupakan.

"Saya pikir itu yang paling penting dan selama ini agak dilupakan oleh ekosistem riset kita. Menurut saya pribadi sistem ini yang sebenarnya harus dibenahi dulu. Larena kalau kepalanya diganti tapi sistemnya tidak berubah, ya sama saja," jelas dia.

Persoalan dalam ekosistem riset itu, kata dia, paling kental terasa terjadi karena lebih diutamakannya pemenuhan unsur birokratisasi ketimbang substansi, yakni riset atau penelitian. Urusan birokratisasi membuat periset tidak dapat sepenuhnya fokus kepada masalah-masalah ilmu pengetahuan karena sudah lelah dengan urusan itu terlebih dahulu.

"Di BRIN memang kami lebih memunculkan masalah birokratisasi daripada masalah pengetahuannya. Inilah yang membuat kami itu kemudian tidak sepenuhnya fokus kepada masalah substansi. Kami harus memenuhi unsur birokratisasi dulu baru kemudian substansi, yang mana itu kami sudah capek duluan di urusan birokratisasi itu," tutur Wasisto.

Dia juga merasa langkah periset agak terganggu karena minim dana dan minim apresiasi. Menurut Wasisto, hal itu terjadi akibat anggaran yang kini tersentralisasi, yang mana menjadi semakin terbirokratis untuk dapat mengakses dana anggaran yang ada. Semestinya, kata dia, pengelolaan anggaran dikembalikan ke pusat riset masing-masing untuk dapat memacu kinerja riset.

"Idealnya itu, pengelolaan anggaran harus terdesentralisasi. Dikembalikan lagi ke pusat risenya masing-masing untuk bisa mengelola dana itu agar bisa memacu kinerja riset. Kalau yang sekarang kan cenderung sentralistik, yang justru membuat langkah periset agak terganggu karena minim dana, minim apresiasi," terang dia.

Wasisto menerangkan, peran pemerintah pusat diperlukan untuk mengubah situasi pada ekosistem riset saat ini. Pembenahan aturan dan kelembagaan harus dilakukan. Sebagai lembaga riset, BRIN semestinya menjadi lembaga yang independen agar dapat secara merdeka melakukan riset.

"Sikapnya (periset) berbeda-beda. Ada yang merasa terkekang, ada yang merasa bebas, ada yang tengah-tengah. Jadi tergantung ke personal perisetnya. Tidak bisa pukul rata. Tapi idealnya independen," kata dia.

Salah satu contoh yang membuat periset merasa terkekang terkait dengan pemenuhan output riset berupa publikasi jurnal internasional. Menurut dia, tidak semua sumber daya manusia (SDM) peneliti mampu untuk itu. Pemenuhan output riset, kata dia, tidak harus selalu berbentuk publikasi jurnal, melainkan harus bisa terdiversifikasi yang dapat lebih berguna bagi pengguna dan masyarakat.

"Karena yang keadaan itu lebih kepada disempitkan sesama periset. Harusnya masyarakat juga harus bisa merasakan manfaat dari riset itu," jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement