REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyebutkan, jumlah kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan yang signifikan pada 2022, yakni mencapai 16.106 kasus dari yang sebelumnya 14.517 kasus pada 2021. Dari belasan ribu kasus itu, jenis kekerasan yang diterima oleh anak-anak didominasi oleh kekerasan seksual yang mencapai 9.588 kasus.
"Angka (kasus kekerasan terhadap anak) yang terlaporkan itu mengalami kenaikan sangat signifikan. Dari data yang ada di Simfoni (Sistem Informasi Online) saja misalnya, dari 2019, khususnya dari 2021 ke 2022, itu angkanya meledak tinggi," ungkap Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, di kantornya di Jakarta, Jumat (27/1/2023).
Berdasarkan data yang dia paparkan, pada 2019 jumlah kasus kekerasan terhadap anak tercatat 11.057 kasus. Pada 2020 meningkat 221 kasus menjadi 11.278. Lalu, kenaikan signifikan terjadi pada 2021, yakni mencapai 14.517 kasus. Kenaikan signifikan berikutnya terjadi pada 2022 yang mencapai 16.106 kasus.
"Kemudian dari angka tersebut, angka kekerasan seksual mendominasi kasus-kasus yang muncul. Ini di satu sisi jadi persoalan bahwa menggambarkan tentang banyaknya kasus," ujar Nahar.
Dia menjelaskan, modus yang dilakukan dalam setiap kasus bermacam-macam. Lalu lokasi kejadian dengan persentase terbesar terjadi di lingkungan rumah tangga, yakni mencapai 53 persen. Sementara untuk pelaku persentase terbesar merupakan teman atau pacar 29 persen dan juga orang tua 21 persen.
"Dari sisi lokasi kejadian, itu ada di rumah tangga. Di sekitar rumah. Dari pelakunya itu bisa kelihatan bahwa angkanya itu dari teman dekat, pacar, lalu ada orang tua. Orang-orang dekat. Jadi kejadian-kejadiannya sangat tidak bisa dimengerti oleh akal. Modusnya macam-macam," terang Nahar.
Nahar mengatakan, peningkatan jumlah laporan itu terjadi akibat semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melapor. Menurut dia, kasus kekerasan terhadap anak ibarat fenomena gunung es, yakni yang muncul ke permukaan hanya sebagian saja. Karena itu pihaknya melakukan stimulus kepada masyarakat soal pentingnya melapor.
"Dengan stimulus, punya kesadaran, mudah melapor segala macam makanya angkanya naik. Di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, DIY itu angka naik karena didukung oleh layanan yang ada, baik jemput bola maupun ketika menerima itu bisa terekam dengan baik sehingga catatannya meluncur ke Simfoni," jelas dia.
Nahar menjelaskan, masyarakat lebih memahami untung-rugi dari melaporkan kasus kekerasan terhadap anak. Di mana, akan lebih rugi apabila suatu kasus tidak dilaporkan. Dengan melapor, kata dia, korban dan keluarga mendapatkan bantuan dari pihak lain untuk terlepas dari beban yang ada.
"Melapor itu punya keuntungan. Satu, beban yang ada tidak menjadi tumpuan di korban dan keluarganya, tapi ada campur tangan pihak lain untuk membantu," kata Nahar.
Dengan melapor pula, korban bisa mendapatkan bantuan untuk pengobatan dampak yang diakibatkan oleh kekerasan yang diterima. Dampak tersebut dapat berupa fisik maupun psikis. Korban dapat dibantu dan didukung oleh pihak-pihak yang kompeten untuk itu.
"Dampak fisiknya diobati mungkin dalam jangka waktu tertentu selesai. Tapi kalau dampaknya ke psikis lalu kemudian menerima beban itu seumur hidup, maka tak ada batas waktu. Maka ini juga perlu dukungan dari semua pihak, proses penyadaran bahwa melapor itu lebih penting," jelas dia.