Praktisi hukum pidana, Boris Tampubolon, menguraikan tiga alasan mengapa Richard Eliezer, dapat dihukum lebih ringan dari tuntutan jaksa. Bahkan, dapat dibebaskan dari semua tuntutan.
Boris mengatakan, penuntutan terhadap terdakwa itu memang menjadi hak dan kewenangan jaksa, tetapi tuntutan bukanlah sebuah keputusan final dari proses hukum. Tuntutan itu hanya permintaan dari jaksa kepada majelis hakim, yang pada akhirnya majelis hakim yang akan memutuskan.
Menurut Boris, hakim dapat memutuskan sesuai tuntutan jaksa atau lebih berat. Pun bisa diputus lebih ringan, bahkan melepaskan dan membebaskan terdakwa.
“Dalam konteks tuntutan terhadap terdakwa Bharada E (Richard), sebenarnya hakim punya sedikitnya tiga alasan untuk nantinya menghukum Bharada E dengan hukuman yang lebih ringan, bahkan diputuskan untuk dilepaskan atau dibebaskan,” kata Boris dalam keterangannya, Jumat (20/1/2023).
Alasan pertama yang dapat dijadikan hakim dalam memutus Richard lebih ringan, yakni terkait perannya sebagai justice collaborator (JC) dalam pengungkapan perkara ini. Terdakwa Richard, menurut Boris, semestinya dilindungi dengan Pasal 10 A ayat 3 UU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 31/2014.
Beleid tersebut, kata Boris menerangkan, terdakwa sebagai saksi pelaku dapat diberikan penghargaan atas kesaksiannya dalam pengungkapan kejahatannya. Penghargaan terkait kesaksiannya tersebut dapat berupa keringanan dalam penjatuhan pidana.
Bentuk keringanan penjatuhan pidana tersebut, kata Boris, menurut aturan itu, bisa berupa pidana percobaan, pidana bersyarat khusus, atau penjatuhan pidana paling ringan dari semua terdakwa yang terkait. Menurut dia, bila hakim nantinya punya penilaian yang sama atas status terdakwa Richard sebagai JC, hakim bisa menggunakan dalil Pasal 10 A Ayat 3 UU 31/2014 itu untuk memberikan putusan lebih ringan dari tuntutan jaksa. Pun lebih ringan dari semua terdakwa.
"Status JC terdakwa Bharada E seharusnya dapat menjadi alasan hakim memvonis terdakwa Bharada E lebih ringan dari semua terdakwa,” kata Boris.
Alasan lainnya yang dapat membuat hakim memutuskan untuk menjatuhkan hukuman lebih ringan adalah dengan melihat peran serta perbuatan Richard dalam rangkaian peristiwa penembakan Brigadir J itu. Menurut Boris, adanya fakta persidangan yang terbukti bahwa perbuatan Richard menembak Brigadir J atas perintah dari terdakwa Ferdy Sambo sebagai atasan.
Boris mengatakan, Pasal 51 Ayat (1) KUH Pidana menerangkan tentang perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan atasan, atau penguasa, tak dapat dipidana. Pasal 51 ayat (2) KUH Pidana, menurut Boris, perintah jabatan tanpa wewenang, yang memang tak menghapuskan pidana.
Namun, lanjutan aturan ayat (2) tersebut mengatakan, penghapusan pidana itu tetap akan ada, jika yang menerima perintah, dengan iktikad baik mengira perintah tersebut diberikan dengan kewenangan, yang masuk dalam lingkungan pekerjaannya. Boris mengatakan, Pasal 51 KUH Pidana itu sebetulnya untuk melindungi orang-orang yang berada dalam posisi sebagai bawahan dalam satu peristiwa tindak pidana.
Menurut Boris, keliru jika tetap memidanakan seorang bawahan yang menjalankan perintah atasan, meskipun perintah atasan tersebut diketahui melanggar aturan dan tak sesuai kewenangannya. Karena menurut dia, jika perintah atasan itu sesuai aturan, dan kewenangannya, tak akan pernah terjadi masalah hukum.
"Justru keberadaan Pasal 51 KUH Pidana itu untuk melindungi orang-orang seperti Bharada E ini, yang posisinya sebagai bawahan dengan kepangkatan paling rendah dan tidak bisa melawan terhadap komandan atau atasannya,” ujar Boris.
Oleh karena itu, menurut Boris, majelis hakim dapat mengambil kesimpulan yang sama atas interpretasi dan substansi Pasal 51 KUH Pidana tersebut dengan meniadakan pidana terhadap Richard. “Bila terdakwa merupakan anak buah, yakni polisi berpangkat paling rendah, kemudian diperintah oleh seorang jenderal. Dan dalam menjalankan perintah tersebut tidak ada niat jahat atau mens rea, motif dendam pada diri yang menjalankan perintah, atau murni hanya menjalankan perintah, maka terhadap Bharada E ini, dapat dilepaskan atau tidak dipidana,” ujar Boris menjelaskan.
Alasan lain yang dapat membuat terdakwa Richard dihukum lebih ringan, bahkan dilepas, terkait dengan kondisi psikologisnya saat melaksanakan perintah pembunuhan tersebut. Terkait itu, Pasal 48 KUH Pidana memastikan tak ada pidana bagi seseorang yang melakukan tindak pidana, tapi berada dalam tekanan atau pengaruh paksa orang lain.
"Fakta persidangan dijelaskan tentang kondisi terdakwa Bharada E yang menembak Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat, karena berada di bawah tekanan, atau adanya daya paksa dari yang memberikan perintah. Dalam hal tersebut, adalah atasannya,” ujar Boris.
Boris menerangkan, substansi Pasal 48 KUH Pidana tersebut menyangkut soal alasan pemaaf atas perbuatan pidana yang dilakukan seseorang. “Dalam hal ini terkait dengan sikap batin dari pelaku,” kata Boris.
Menurut dia, seseorang hanya dapat dipidana jika memang ada niat jahat atau mens rea, atas perbuatannya (actus reus). Dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, Boris menilai, tak tampak bukti terdakwa Richard melakukan perbuatan menembak Brigadir J, atas dasar niat jahat. Melainkan perbuatan itu dilakukan karena paksaan, dan keterpaksaan.
“Jadi bila hakim berpendapat Bharada E melakukan penembakan karena berada di bawah tekanan, baik fisik maupun psikis, dan dilakukan karena daya paksa dari seseorang, dalam hal ini dalah terdakwa Ferdy Sambo. Artinya sebenarnya terdakwa Bharada E tidak ada niat jahat untuk merampas nyawa almarhum Brigadir J. Maka hakim dapat melepaskan dan tidak memidanakan terdakwa Bharada E,” kata Boris menambahkan.
