Kamis 26 Jan 2023 15:35 WIB

ILUNI FHUI Nilai Perppu Cipta Kerja Lahir akibat Kelalaian Pemerintah

Penilaian subyektif pemerintah dalam melahirkan perppu tidak boleh disalahgunakan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Indira Rezkisari
Massa dari Partai Buruh menggelar aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Sabtu (14/1/2023). Dalam aksinya mereka menolak Perppu No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja yang berisi tentang permasalahan upah minimum, outsourcing, pesangon, karyawan kontrak, cuti, jam kerja, tenaga kerja asing, pemutusan hak kerja (PHK) hingga sanksi pidana yang dihilangkan. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Massa dari Partai Buruh menggelar aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Sabtu (14/1/2023). Dalam aksinya mereka menolak Perppu No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja yang berisi tentang permasalahan upah minimum, outsourcing, pesangon, karyawan kontrak, cuti, jam kerja, tenaga kerja asing, pemutusan hak kerja (PHK) hingga sanksi pidana yang dihilangkan. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Iluni FHUI) menyayangkan diundangkannya Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Iluni FHUI menilai, lahirnya Perppu itu merupakan bentuk kelalaian pemerintah dalam menampung aspirasi masyarakat yang menuntut adanya perbaikan atas materi muatan Undang-undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

"Alih-alih memperbaiki substansi dari UU Cipta Kerja, Pemerintah malah mengesahkan Perppu dalam yang secara materil tidak berbeda dari UU Cipta Kerja," ungkap Ketua Iluni FHUI, Rapin Mudiardjo, lewat siaran pers, Kamis (26/1/2023).

Baca Juga

Dia menjelaskan, secara yuridis memang benar presiden memiliki hak penilaian subyektif untuk menetapkan Perppu saat terjadi kegentingan memaksa. Kewenangan itu berdasarkan Pasal 22 UU Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 dan Pasal 1 angka 4  UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Namun, hak penilaian subyektif ini harus dimaknai sebagai suatu kewenangan yang tidak boleh disalahgunakan atau abuse of power," jelas Rapin.

Terlebih, kata dia, dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 juga disebutkan, kewenangan subyektif presiden harus didasarkan pada keadaan yang obyektif dengan memenuhi tiga syarat kegentingan memaksa. Ketiga syarat itu, yakni keadaan mendesak, kekosongan hukum, dan prosedur pembentukan UU yang biasa tidak dapat mengatasi permasalahan kekosongan hukum yang ada.

Di samping itu, pihaknya juga melihat, soal kegentingan memaksa yang menjadi dasar pembentukan Perppu Cipta Kerja masih perlu diuji validitasnya. Pemerintah menjadikan pandemi Covid-19 dan konflik Russia-Ukraina yang berdampak pada perekonomian global sebagai alasan mendesak diterbitkannya Perppu.

"Kami menyadari, kedaruratan ekonomi dapat menjadi argumen untuk memenuhi syarat alasan mendesak. Namun di sisi lain, dalam berbagai kesempatan presiden beserta jajarannya kerap menyuarakan perekonomian Indonesia cenderung aman, stabil, bahkan mengalami peningkatan," kata dia.

Pada Juli 2022 lalu, pemerintah menyampaikan bahwa persentase penduduk miskin Indonesia menurun sebesar 0,17 persen poin dibandingkan September 2021 dan 0,60 persen poin terhadap Maret 2021. Teranyar, pada November 2022 lalu pemerintah menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan III-2022 meningkat sebesar 5,72 persen.

"Disahkannya Perppu Cipta Kerja dengan alasan kegentingan ekonomi pada akhir Desember 2023 lalu tentunya kontradiktif dengan berita positif Pemerintah yang disampaikan di tahun yang sama," jelas Rapin.

Selain itu, pemerintah tetap melanjutkan berbagai megaproyek yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Antara lain pembangunan kereta super cepat Jakarta-Bandung, hingga pemindahan Ibu Kota Negara. Fenomena itu dinilai menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat soal alasan kegentingan ekonomi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement