REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengapresiasi DPR lewat Badan Legislasi (Baleg) yang menginisiasi revisi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Revisi undang-undang tersebut diketahui akan menggunakan metode omnibus yang akan menggabungkan undang-undang lain.
Ada enam masalah di sektor kesehatan yang membuat pemerintah mendukung adanya RUU omnibus Kesehatan itu. Pertama adalah kurangnya akses masyarakat ke layanan primer kesehatan.
"Kita melihat ada titik-titik lemah layanan primer itu kurang terintegrasi, karena sejak adanya UU Otonomi Daerah itu jadi agak terpisah dengan Kementerian Kesehatan, jalannya sendiri-sendiri, masing pemerintah daerah. Itu sekarang akan kita integrasikan dengan menyamakan program dan juga penganggarannya akan kita sinergikan," ujar Budi dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Selasa (24/1/2023).
Kedua adalah kurangnya kapasitas pelayanan rujukan di rumah sakit. Ia mencontohkan masih sangat kurangnya rumah sakit jantung dan stroke di banyak wilayah, yang membuat masyarakat menjadi kesulitan.
"Misalnya saja jantung, karena ini adalah kematian yang paling besar setelah stroke, kita lebih ingin banyak lagi rumah sakit-rumah sakit di daerah yang bisa melayani jantung dan stroke. Jadi tidak usah dibawa ke Jakarta atau ke Jawa," ujar Budi.
Ketiga adalah ketahanan kesehatan yang masih lemah. Selanjutnya, pembiayaan kesehatan yang masih belum efektif. Ia menjelaskan, masalah keempat tersebut terjadi akibat kurangnya koordinasi antara pemerintah dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Alasan kelima adalah masalah sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan yang masih kurang dan tidak merata. Jelasnya, masalah SDM ini menjadi salah satu alasan utama pemerintah mendukung revisi UU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus.
Sebab, jumlah dokter umum dan dokter spesialis di Indonesia masih sangat kurang yang menyebabkan tak meratanya mereka di banyak wilayah. Hal tersebut terbukti dari banyaknya dokter spesialis yang kerap membuka prakteknya di dua tempat atau lebih.
"Di luar negeri itu umumnya mereka praktek di satu tempat, itu menunjukkan bahwa dokter dan dokter spesialis kita kurang. Diskusi dengan organisasi profesi dan perguruan tinggi terus kita lakukan, karena memang masih ada pihak yang merasa dokter dan dokter spesialis kita sudah cukup, padahal kenyataannya sangat kurang," ujar Budi.
Alasan terakhir adalah minimnya integrasi teknologi kesehatan dan regulasi inovasi bioteknologi. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) disebutnya sedang melakukan transformasi kesehatan sebagai upaya untuk dapat menjawab permasalahan layanan kesehatan di masyarakat.
"Kemenkes mendukung adanya upaya penyusunan RUU kesehatan untuk mengurangi penyelenggaraan transformasi kesehatan," ujar Budi.