REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan soal ajakan kepala daerah 'melawan' operasi tangkap tangan (OTT) memicu kontroversi. Apakah benar digitalisasi pemerintah yang disebut Luhut dapat menghilangkan korupsi seluruhnya sehingga tak perlu OTT?
Pakar Hukum dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang mengajak pemerintah daerah 'melawan' operasi tangkap tangan (OTT) dan mengurangi praktik korupsi dengan cara mengubah ekosistem pemerintahan jadi serba digital, dianggap kurang tepat.
Apabila pernyataan itu dipakai alasan kepala daerah atau pejabat melakukan perlawanan terhadap upaya OTT KPK, menurut Feri, justru ia bisa dikenakan pasal penghasutan, karena bisa menghalang-halangi upaya penegakkan hukum.
"Saya pikir Pak Luhut bisa dikenakan tindakan penghasutan dalam upaya menggalang halangi aparat hukum dalam menegakkan dan menjalankan fungsi hukumnya. Pernyataan itu menunjukkan memang Pak Luhut tidak paham betul hukum, dan bagaimana seharusnya pejabat menghormati hukum," kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) ini kepada wartawan, Rabu (18/1/2023).
Karena itu, Feri menekankan agar pejabat atau kepala daerah lebih baik sama sekali tidak melakukan korupsi, bila tidak ingin ada OTT. Karena kalau melakukan perlawanan saat KPK melakukan OTT, seperti yang disampaikan Menko Marves, justru bisa dikenakan pasal menghalang-halangi penegakkan hukum.
"Jadi saya pikir kalau akhirnya ada kepala daerah atau pejabat yang melakukan perlawanan dan penolakan terhadap OTT atas dasar pernyataan Pak Luhut itu, maka Pak Luhut bisa dikenakan pasal penghasutan," jelasnya.
Terkait soal digitalisasi, yang disebut Pak Luhut yang akan memperkecil ruang korupsi. Menurut Feri, di satu sisi itu bisa jadi tepat. Tapi bila disebut penerapan digitalisasi, akan membuat sama sekali tidak akan ruang korupsi juga tidak sepenuhnya benar.
Apalagi alasan yang disampaikan Pak Luhut soal 'kalau mau bersih-bersih amat' atau 'kalau bersih di surga saja'. Pernyataan itu, menurut Feri bisa disalahartikan. "Dan justru pernyataan Pak Luhut itu memperlihatkan bagaimana permisifnya dia dengan pemberantasan korupsi," terang Feri.
Sementara itu, Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda menilai pernyataan Pak Luhut, soal penerapan digitalisasi mempersempit korupsi dan penolakan kepala daerah terhadap OTT KPK itu, harus dilihat konteksnya. Ia khawatir, jangan sampai ada pejabat yang menerima pernyataan tersebut di luar konteksnya.
"Saya kira harus dipahami konteksnya ya pernyataan Pak Luhut itu. Jika maksudnya bahwa seharusnya KPK mengedepankan fungsi preventif, artinya OTT sebagai tindakan represif KPK tentu menjadi dapat dipandang negatif," kata dia.
Karena itu, menurut Choirul Huda, tidak bisa pernyataan itu lepas dari konteksnya, harus bisa dipahami mengapa Pak Luhut berpendapat seperti itu. Sehingga ia berharap pernyataan Pak Luhut itu, tidak menimbulkan multitafsir yang tidak tetap di lapangan.
Sebelumnya untuk kedua kalinya, Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan mengajak pemerintah daerah melawan operasi tangkap tangan dan mengurangi praktik korupsi dengan cara mengubah ekosistem pemerintahan jadi serbadigital. Menurut dia, ketika tidak ada lagi OTT dan kasus korupsi menurun, Indonesia bakal dianggap sebagai negara bermartabat.
Baca juga : Luhut Lawan OTT, Sahroni: Apa Salahnya Publik Lihat Maling Ketangkap?
"Kita harus melawan OTT supaya kita menjadi negara yang bermartabat. Saya kira kita tidak mau negara kita jadi negara yang dituduh tidak memiliki ekosistem yang bagus sehingga terjadi korupsi di Indonesia," kata Luhut dalam Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda 2023.
Luhut menjelaskan, negara yang bermartabat adalah negara yang punya ekosistem yang baik lewat digitalisasi. Dia meyakini ekosistem pemerintahan yang sudah digitalisasi bakal menghilangkan OTT terhadap pejabat korup dan akan mengurangi kasus korupsi.
Karena itu, Luhut meminta para kepala daerah memperbaiki layanan pemerintahannya lewat digitalisasi ekosistem. "Jadi, jangan salah mengerti, pemerintah atau kami tidak ingin melihat OTT bukan karena itu. Kami tidak ingin negara kita yang begitu hebat dipuja-puji orang, (tapi) masih ada OTT karena ekosistem kita tidak bagus," ujarnya dalam acara yang turut dihadiri Presiden Jokowi itu.
Baca juga : PSI Bantah KPK Geledah Ruangannya: Hanya Fraksi Golkar