REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mencegah lima orang bepergian ke luar negeri terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat Gubernur nonaktif Papua, Lukas Enembe. Salah satunya yang dicegah, yakni istri Lukas bernama Yulce Wenda.
Kasubbag Humas Ditjen Imigrasi Kemenkumham, Ahmad Nursaleh mengatakan, pencegahan ini dilakukan atas permintaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Status cegah itu berlaku selama enam bulan.
"Atas nama Yulce Wenda. Yang bersangkutan aktif dalam daftar cegah dengan masa pencegahan 7 September 2022 sampai dengan 7 Maret 2023," kata Nursaleh saat dikonfirmasi, Jumat (13/1/2023).
Kemudian, empat orang lainnya, yakni masing- masing adalah seorang ibu rumah tangga bernama Lusi Kusuma Dewi. Ia masuk dalam daftar cegah dengan masa pencegahan 8 Desember 2022 sampai dengan 8 Juni 2023.
Lalu, dua orang dari pihak swasta, yaitu Dommy Yamamoto dan Jimmy Yamamoto. Keduanya dicegah ke luar negeri mulai tanggal 15 November 2022 sampai 15 Mei 2023.
Terakhir adalah Direktur PT RDG, Gibbrael Isaak. Ia dicegah pergi ke luar negeri dari tanggal 15 November 2022 sampai dengan 15 Mei 2023.
Sementara itu, Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri mengatakan, status pencegahan ini merupakan salah satu upaya agar pihak-pihak yang diduga terkait dengan kasus ini dapat kooperatif hadir memenuhi panggilan tim penyidik. Masa pencegahan ini dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan penyidik KPK.
Ali menyebut, di antara kelima orang tersebut, ada beberapa pihak yang diduga mengetahui perbuatan curang Lukas. Namun, ia tak menjelaskan lebih rinci pihak-pihak mana saja yang dimaksud.
“Keempat pihak tersebut diduga kuat mengetahui dugaan perbuatan dari tersangka LE (Lukas Enembe),” ungkap Ali.
Sebelumnya, KPK menangkap Lukas Enembe di salah satu rumah makan di Jayapura, Papua, Selasa (10/1/2023). Dia ditangkap setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi pengerjaan sejumlah proyek pembangunan infrastruktur di Papua.
Lukas diduga menerima uang dari Direktur PT Tabi Bangun Papua, Rijatono Lakka agar perusahaannya mendapatkan sejumlah proyek pembangunan infrastruktur di Papua. Padahal perusahaan milik Rijatono tidak memiliki pengalaman dalam bidang konstruksi lantaran sebelumnya bergerak pada bidang farmasi.
Selain Lukas, Rijatono juga diduga menemui sejumlah pejabat di Pemprov Papua terkait proyek tersebut. Mereka diduga melakukan kesepakatan berupa pemberian fee sebesar 14 persen dari nilai kontrak setelah dikurangi nilai PPh dan PPN.
Adapun paket proyek yang didapatkan oleh Rijatono, antara lain, paket multiyears peningkatan Jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14, 8 miliar, proyek multiyears rehab sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp 13,3 miliar, dan proyek multiyears penataan lingkungan venue menembak outdoor AURI dengan nilai proyek Rp 12, 9 miliar.
Setelah terpilih untuk mengerjakan proyek dimaksud, Rijatono diduga menyerahkan uang kepada Lukas Enembe dengan jumlah sekitar Rp 1 miliar. Di samping itu, Lukas Enembe juga diduga telah menerima pemberian lain sebagai gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya hingga jumlahnya miliaran rupiah. KPK pun sedang mendalami dugaan ini.
Atas perbuatannya sebagai pemberi suap, Rijatono Lakka disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan Lukas Enembe sebagai penerima suap disangkakan Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 dan 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.