REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa pihaknya memang mendukung sistem proporsional tertutup diterapkan dalam pemilihan umum (Pemilu). Namun tegasnya, PDIP hingga saat ini taat asas dan mengikuti peraturan perundang-undangan yang ada.
Ia sendiri menghormati sikap delapan partai politik yang ada di DPR dalam menolak sistem proporsional tertutup. Menurutnya, sikap tersebut merupakan bagian dalam demokrasi di Indonesia.
"Pertemuan yang ada di hotel Dharmawangsa ya itu kita hormati sebagai bagian dalam tradisi demokrasi kita," ujar Hasto di kawasan Tanah Tinggi, Jakarta, Ahad (8/1).
Bertemunya delapan ketua umum yang menolak sistem proporsional tertutup juga dinilainya hal yang lumrah. Apalagi, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri juga kerap melakukan hal yang serupa.
"Megawati melakukan pertemuan dengan para ketua umum parpol tidak dalam pengertian terbuka. Beliau banyak melakukan dialog bangsa dan negara itu justru dalam suasana yang kontemplatif, itu yang membedakan," ujar Hasto.
PDIP tengah disibukkan dengan persiapan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-50, yang nantinya dirayakan pada 10 Januari mendatang. Namun menurutnya, sistem proporsional terbuka justru menghadirkan biaya politik yang tinggi.
"Proporsional terbuka dalam penelitian Pak Pramono Anung, minimum paling tidak harus ada (modal) yang Rp 5 miliar untuk menjadi anggota dewan. Bahkan ada yang habis sampai Rp 100 miliar untuk menjadi anggota dewan," ujar Hasto.
"Maka ada kecenderungan struktur anggota dewan, banyak yang didominasi para pengusaha," sambungnya.
Terdapat lima sikap delapan partai politik penolak sistem proporsional tertutup yang dibacakan oleh Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto. Pertama, kedelapan partai menolak sistem proporsional tertutup dan memiliki komitmen untuk menjaga kemajuan demokrasi di Indonesia yang telah dijalankan sejak era reformasi.
Kedua, sistem pemilu dengan proporsional terbuka merupakan pilihan yang tepat dan telah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada tanggal 23 Desember 2008. Sistem tersebut sudah dijalankan dalam tiga kali pemilihan umum (Pemilu).
Ketiga, delapan partai politik tersebut meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tetap menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu. Dengan menjaga netralitas dan independensinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, mereka mengapresiasi kepada pemerintah yang telah menganggarkan anggaran Pemilu 2024. KPU didorong agar tetap menjalankan tahapan-tahapan kontestasi sesuai dengan kesepakatan bersama.
"Kelima, kami berkomitmen untuk berkompetisi dalam pemilu 2024 secara sehat dan damai dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa agar tetap memelihara stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi," ujar Airlangga.