Rabu 04 Jan 2023 16:57 WIB

PAN Berharap MK Tolak Gugatan Proporsional Terbuka

Proporsional tertutup tidak sesuai dengan UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan menolak gugatan atas sistem proporsional terbuka. Foto ilustrasi hakim MK bersidang.
Foto: Republika/Prayogi
Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan menolak gugatan atas sistem proporsional terbuka. Foto ilustrasi hakim MK bersidang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wasekjend DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Ibnu Mahmud Bilalludin, berharap Mahkamah Konstitusi (MK) konsisten menerapkan sistem proposional terbuka.

Hal ini disampaikan Ibnu terkait dengan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas penerapan sistem proporsional terbuka. “Sistem proporsional terbuka memberikan hak kepada rakyat secara langsung untuk memilih dan menentukan pilihannya terhadap calon anggota legislatif,” kata Ibnu, dalam siaran pers, Rabu (4/1/2023).

Sistem ini, lanjutnya, juga lebih adil pula bagi calon anggota legislatif.

Kemenangannya bisa ditentukan sejauh mana usahanya dalam memperoleh besarnya dukungan suara rakyat. Diungkapkannya, pihak-pihak penggugat sistem proporsional terbuka, mengalami keterputusan sejarah (historical disconnection).  “Sistem proporsional tertutup secara tegas sudah dinyatakan tidak sesuai alias bertentangan dengan UUD NRI 1945 oleh Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008,” paparnya.

Jika MK mengabulkan gugatan penggugat terhadap sistem proporsional tertutup, kata Ibnu, maka mengalami kemunduran sejarah. “Ongkos yang diakibatkan tentunya tidak murah, sebagaimana yang telah terjadi beberapa waktu silam. Penghargaan terhadap keadulatan rakyat tidak meaning full. Sistem oligarki partai menguat. Kanal partisipasi public dalam pemilu sempit, dan lainnya,” tegas Anggota Legislatif dari Dapil DIY.

Ibnu berpendapat bahwa esesnsi dari kedaulatan rakyat dalam Negara demokrasi adalah kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Prinsip ini secara tegas juga dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Karenanya, kedaulatan rakyat yang berwujud pemberian penghargaan dan penilaian hak suara pemilih dalam kegiatan pemilihan umum, sejatinya memang rakyat yang secara langsung dapat memilih siapa yang dikehendakinya. Baik calon legislatif maupun eksekutif.

“Hal ini menjadi suatu keniscayaan untuk mendapatkan legitimasi politik secara langsung dari rakyat. Semakin besar perolehan suara rakyat yang didapatkan calon, semakin besar pula legitimasi politik yang didapatkan, dan sebaliknya,” ungkapnya.

Kedaulatan rakyat ini, tutur Ibnu, harus dijadikan prinsip konstitusi yang sangat mendasar.  Ia harus dijadikan tumpuan untuk memberi warna dan semangat, serta moralitas pada setiap gerak langkah kita dalam membangun bangsa dan Negara. Tak terkecuali dalam hal pembangunan sistem politik. ”Sebagai suatu hal yang prinsipil, maka hal-hal yang bersifat sekunder seperti perubahan-perubahan atau perdebatan politik di parlemen, tidak boleh menganulir hal yang bersifat prinsip,” tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement