Selasa 03 Jan 2023 08:39 WIB

Perppu Ciptaker dan Partisipasi Bermakna

Makna partisipasi bersama ketika Perppu Ciptaker terbit

Demorntasri buruk terkait UU CIptaker. (ilustrasi).
Foto:

Partisipasi bermakna

Bagaimana halnya dengan kesesuaian pada asas partisipasi yang bermakna? Berkenaan dengan hal itu, harus dipahami pula bahwa partisipasi yang bermakna merupakan asas yang berlaku secara umum bagi pembentukan semua jenis peraturan perundang-undangan, tidak terkecuali penetapan perppu. Artinya, bukan saja dalam pembentukan UU secara biasa, dalam hal penetapan perppu yang materi muatannya sama dengan UU pun berlaku asas partisipasi yang bermakna. 

Putusan MK Nomor 91-2020  menetapkan bahwa partisipasi yang bermakna paling tidak dilakukan pada tahap: (1) pengajuan rancangan undang-undang; (2) pembahasan bersama antara DPR dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; dan (3) persetujuan bersama antara DPR dan Presiden (Par. 3.17.8). 

Dalam konteks perppu, tahap pengajuan rancangan perppu memang berbeda dengan pengajuan RUU. Rancangan perppu diajukan oleh menteri yang hanya dikoordinasikan dengan menteri terkait atau pimpinan Lembaga Pemerintahan Non-Kementrian (LPNK), sehingga ada kemungkinan tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara kuat. Namun, selain merancang perppu, terdapat juga RUU tentang Penetapan Perppu yang dipersiapkan untuk persidangan DPR berupa RUU tentang Penetapan Perppu menjadi UU jika mendapatkan persetujuan dari DPR dan RUU tentang Pencabutan Perppu yang dipersiapkan jika DPR menolak Perppu tersebut (Pasal 71 UU 12/2011).  Artinya, masih terdapat ruang bagi partisipasi yang bermakna pada tahap pengajuan RUU tentang Penetapan Perppu yang kurang lebih berlangsung dalam tenggat sejak dikeluarkannya Perppu oleh Presiden dan persidangan DPR, yang membahas tentang persetujuan atas perppu. 

Jika menengok sejarah, partisipasi masyarakat pernah terjadi penetapan Perppu Nomor 1/2014 yang dilakukan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pada bagian konsiderans perppu itu disebutkan bahwa “UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya telah menimbulkan persoalan serta kegentingan yang memaksa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.”

Jelas sekali dalam penetapan perppu pada era Presiden SBY tersebut terdapat partisipasi masyarakat yang kuat untuk mencabut UU Nomor 22/2024 dan menerbitkan Perppu Nomor 1/2014. Dan, dalam persidangan berikutnya, DPR memberikan persetujuan terhadap perppu tersebut. 

Sementara itu, ketentuan Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 12/2011 menyebutkan bahwa Pembahasan RUU tentang Penetapan Perppu dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan RUU. Artinya, sejalan dengan Putusan MK, maka partisipasi yang bermakna pun dapat dilakukan pada tahap pembahasan RUU tentang Penetapan Perppu. Demikian pula, halnya partisipasi yang bermakna pun dapat dilakukan pada tahap persetujuan antara DPR dan Presiden. 

Kondisi yang sama juga berlaku untuk Perppu Ciptaker yang sesuai dengan Putusan MK, maka partisipasi yang bermakna sedikitnya pada tahap pengajuan RUU tentang Penetapan Perppu Ciptaker, pembahasannya di DPR, dan persetujuan antara DPR dan Presiden mengenai UU tentang Penetapan Perppu Ciptaker. Pada tahap-tahap itulah masyarakat dapat berpartisipasi secara bermakna untuk menguji secara objektif atas penilaian subjektif Presiden tentang kegentingan yang memaksa berdasarkan tiga syarat, yang telah ditentukan oleh MK dalam Putusan 138/PUU-VII/2009. 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement