Rabu 21 Dec 2022 19:46 WIB

Epidemiolog Minta Pemerintah Kejar Cakupan Booster Sebelum PPKM Dicabut

Selama ini cakupan booster masih stagnan.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Dwi Murdaningsih
Tenaga kesehatan menyuntikan vaksin booster Covid-19 kepada warga di sentra vaksinasi di kawasan Kota Tua, Jakarta, Jumat (16/9/2022). Pemerintah pusat menjamin ketersediaan stok vaksin Covid-19 masih mencukupi untuk memenuhi permintaan daerah. Sementara Menteri Kesehatan menargetkan jumlah penerima vaksin ketiga atau vaksin booster pada awal 2023 mendatang mampu mencapai 100 juta penduduk. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Tenaga kesehatan menyuntikan vaksin booster Covid-19 kepada warga di sentra vaksinasi di kawasan Kota Tua, Jakarta, Jumat (16/9/2022). Pemerintah pusat menjamin ketersediaan stok vaksin Covid-19 masih mencukupi untuk memenuhi permintaan daerah. Sementara Menteri Kesehatan menargetkan jumlah penerima vaksin ketiga atau vaksin booster pada awal 2023 mendatang mampu mencapai 100 juta penduduk. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ahli Epidemiologi FKM UI Pandu Riono menyambut baik kebijakan pencabutan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada akhir 2022. Menurut Pandu, tidak ada korelasi antara tren kenaikan Covid-19 dengan pencabutan PPKM.

"PPKM dicabut sudah lama diusulkan sejak beberapa bulan ya. Sudah lama PPKM tidak diterapkan, kasus naik tidak apa-apa, asal tidak diikuti kenaikan keparahan angka perawatan di rumah sakit," kata Pandu saat dikonfirmasi, Rabu (21/12/2022).

Baca Juga

Berbeda dengan Pandu, Ahli Epidemiologi dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, alangkah baiknya pemerintah menunda pencabutan PPKM hingga tahun 2023. Karena, pemerintah harus melihat apakah Indonesia berhasil melewati periode libur Natal dan Tahun Baru 2023 tanpa harus kembali mencatat tren kenaikan kasus Covid-19 akibat adanya peningkatan mobilitas masyarakat.

"Saya kira kita harus tunggu sampai situasi awal tahun, Januari 2023 nanti. Kita lihat dulu apakah situasi nanti terkendali atau tidak usai Nataru," terang Dicky kepada Republika.co.id.

Terlebih, penerapan testing, tracing, dan treatment (3T) yang dijalankan oleh pemerintah hingga kini masih terbilang lemah. Padahal,3T adalah salah satu aspek penting dalam langkah pengendalian kasus Covid-19.

Namun, Dicky dan Pandu sepakat, pemerintah harus mengejar untuk percepatan vaksinasi dosis ketiga atau booster. Pasalnya, selama ini cakupan booster masih stagnan.

"Yang perlu dikejar bukan pilihan jenis vaksinasinya, karena apapun jenis vaksinnya efek peningkatan imunitasnya tidak berbeda. Perlu kebijakan yang pas dengan kebutuhan yang mendesak," kata Pandu.

Adapun, vaksin Covid-19 telah menjadi salah satu syarat awal bagi Indonesia untuk akhirnya dapat keluar dari status pandemi Covid-19. Rendahnya cakupan vaksinasi yang dicapai Indonesia justru akan membuat negara ini berkontribusi terhadap perlambatan pencabutan status pandemi Covid-19 oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Kalau belum disiapkan modal proteksi, kemudian dicabut PPKM-nya, ini akan membuat banyak pengabaian. Akhirnya membuat kita berkontribusi lagi dalam kemunduran dari akhir status pandemi," tutur Dicky.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement