REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah mulai menghapuskan tenaga honorer untuk tahun 2023, masih meninggalkan catatan bagi DPR khususnya terkait guru honorer. Upaya pemerintah mengangkat guru honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) juga terganjal hal teknis mulai dari anggaran yang kurang hingga koordinasi antar lembaga.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Agustina Wilujeng Pramestuti menilai anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk pengangkatan guru honorer menjadi PPPK masih kurang. Pasalnya, setiap tahun Kementerian Keuangan RI hanya mengalokasikan Rp 19,6 triliun untuk mengangkat ratusan ribu guru honorer di Indonesia.
Padahal, pemerintah menargetkan pengangkatan guru honorer di seluruh Indonesia sebanyak satu jutamelalui Kemendikbudristek. “Setiap kali pengangkatan guru (honorer) 100.000 orang itu tambahan anggarannya itu sebesar paling tidak Rp 7 triliun," ujar Agustina dalam keterangannya, Selasa (20/12/2022).
Artinya, sambung dia, kalau tahun lalu diberi Rp 19,6 triliun maka tahun depan seharusnya Rp 19,6 triliun tambah Rp 7 triliun. Sementara itu, ia mengungkapkan, anggaran yang dialokasikan pemerintah hanya dapat digunakan menggaji guru yang diangkat di tahun pertama. Sedangkan untuk guru yang diangkat di tahun berikutnya belum memiliki alokasi anggaran.
“Rp 19,6 triliun saya bilang duitnya enggak cukup. Harus lebih banyak (alokasi anggaran) lagi,” ujar politikus Fraksi PDIP ini.
Kurangnya alokasi anggaran itu, menurutnya, disebabkan karena distribusi anggaran dana fungsi pendidikan tidak hanya mengalir ke Kemendikbud Ristek dan Kemenag, melainkan tersebar di banyak kementerian/lembaga. “Di mana-mana ini (anggaran pendidikan). Sebenarnya mau diatur dalam revisi Undang-Undang Sisdiknas supaya kembali konsentrasinya untuk PAUD, SD, SMP, SMA dan sekolah regular S1,” terangnya.
Ia menilai situasi saat ini menjadi rumit, sebab sistem pendidikan nasional saat ini masih menggunakan sistem lama di saat tantangan sudah jauh ke depan. Menurutnya, satu-satunya cara memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia itu adalah dengan menyesuaikan antara sistem dan kebutuhan anggaran.
“Sistem yang dibuat Mas Menteri itu bagus sekali, tetapi kalau itu diaplikasikan ke seluruh Indonesia, artinya hampir separuh dana pendidikan Rp 610 triliun itu harus diberikan untuk dua kementerian saja, Kemendikbud dan Kemenag,” jelasnya.
Walaupun ia mengaku optimistis bila hal itu direalisasikan, mutu pendidikan Indonesia dapat berkembang dan menyusul negara-negara maju lainnya.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI Sodik Mudjahid mendorong realisasi pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk percepatan penyelesaian guru honorer. Pansus yang bersifat gabungan lintas komisi tersebut diperlukan guna memberikan solusi bagi persoalan yang terkesan telah berlarut-larut itu.
"Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Bappenas, Menteri Keuangan dan beberapa kementerian yang banyak tenaga honorernya seperti Kemendikbud, Kemenkes, Kementerian Pertanian pada tahun 2023 harus duduk bersama, sehingga persoalan pegawai honorer menjadi PPPK cepat selesai," kata Sodik.
Sodik menilai masalah guru honorer selalu menjadi hambatan karena pembiayaannya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sementara, Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dimilikinya terbatas karena terdampak adanya pandemi Covid-19.
“Oleh sebab itu di (pemerintah) pusat sedang dibahas masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sehingga beban guru PPPK yang menjadi beban daerah dengan undang-undang yang berjalan ini. Keuangan menjadi semakin proporsional, sehingga potensi daerah untuk membiayai guru PPPK ini bisa segera terealisasikan," ujarnya.
Sebagaimana diberitakan, Kemenpan-RB meminta seluruh pemerintah daerah di Indonesia menghapus tenaga honorer pada November 2023. Kebijakan ini untuk menata sistem kepegawaian. Bagi daerah yang membutuhkan tenaga tambahan bisa menggunakan tenaga kerja dengan status outsourcing.