REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menegaskan proses sidang etik terhadap anggota Polri yang melakukan pelanggaran harus tuntas, baik di tingkat internal kepolisian maupun di tingkat pengadilan.
"Saya kira kalau terkait dengan proses penanganan kasus-kasus yang ada semuanya tentu harus tuntas. Baik di internal maupun yang saat ini sedang berproses di pengadilan," kata Sigit kepada wartawan dalam konferensi pers Apel Kasatwil 2022 di Jakarta, Rabu (14/12/2022).
Hingga saat ini sidang etik terhadap anggota Polri terkait kasus Duren Tiga (pembunuhan Brigadir J) belum tuntas dilaksanakan. Sejumlah anggota yang belum menjalani sidang etik seperti Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu, Bripka Ricky Rizal, AKBP Arif Rahman Arifin, dan AKP Irfan Widyanto.
Kemudian ada nama Irjen Napoleon Bonaparte terkait kasus red notice Djoko Tjandra bersama Brigjen Prasetijo Utomo, dan baru-baru ini Irjen Pol Teddy Minahasa terkait kasus peredaran gelap narkoba.Lebih lanjut dijelaskan oleh Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo yang mengatakan hampir semua anggota Polri yang terlibat kasus Duren Tiga (35 orang) sudah disidang etik, dan hanya tersisa beberapa orang saja yang belum disidang.
"Sudah lebih (yang disidang), nanti saya tanyakan dan saya sampaikan. Tinggal sedikit lagi," ujarnya.
Sementara itu, terkait sidang etik terhadap Bharada Richard Eliezer sempat disinggung oleh Ferdy Sambo usai menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mantan Kadiv Propam Polri itu mempertanyakan kenapa Bharada Richard belum disidang etik seperti dirinya, karena juga menjadi pelaku penembakan Brigadir J.
Menurut Dedi, sidang etik terhadap Bharada E belum dilaksanakan karena masih menunggu proses sidang pidana di pengadilan. "Kan masih diproses. Nanti saya tanyakan ke Propam, biar fokus dulu ke persidangan yang saat ini sedang berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," katanya.
Begitupun terkait sidang etik untuk Napoleon Bonaparte dan Prasetijo, juga tak kunjung digelar padahal status pidana nya sudah berkekuatan hukum di pengadilan. Dedi beralasan pihaknya belum mendapatkan jawaban terkait hal itu dari Propam Polri.
"Berulang kalo sudah saya tanyakan, belum ada jawabannya. Sabar," pintanya.
Sebelumnya, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengkritisi Polri yang masih setengah hati menjalankan sanksi disiplin terhadap anggotanya yang melakukan pelanggaran. Ia berpandangan, sidang etik sebagai tempat menyembunyikan para anggota pelanggar oleh institusi dari jerat pidana umum.Bambang juga mempertanyakan komitmen pernyataan Kapolri terkait ikan busuk dimulai dari kepala, dan siap memenggal kepala tersebut.
"Perlu dipertanyakan kapan sidang etik untuk Napoleon dan Prasetijo. Kalau tidak cermat bisa terlupakan," kata Bambang, dikonfirmasi awal September lalu.
Irjen Napoleon Bonaparte divonis empat tahun, sedangkan Prasetijo Utomo divonis tiga tahun penjara dan dipotong menjadi 2,5 tahun setelah kasasi nya dikabulkan MA. Bambang mengartikan, anggota Polri yang dipidana tetapi belum disidang etik dan diberhentikan dari kepolisian masih menerima gaji dari negara.
"Artinya negara selama ini sudah memberikan gaji buta bertahun-tahun pada polisi yang menjadi narapidana karena institusi Polri tidak segera menggelar sidang KKEP dan memberikan sanksi PTDH bagi yang melakukan pelanggaran pidana," ujarnya.
Ia mencontohkan, mantan Kabareskrim Komjen Pol. (Purn) Susno Duaji yang divonis selama 3,5 tahun terkait kasus korupsi. Vonis itu dijatuhkan setahun sebelum pensiun, memperoleh hak pensiun karena tidak disidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang pada masa itu menunggu keputusan kasasi.
Selain Susno, ada juga kasus korupsi mantan Kakorlantas Irjen Pol Djoko Susilo juga tidak segera di PTDH karena menunggu vonis inkrah pengadilan, sampai akhirnya pensiun dari kepolisian.