Selasa 13 Dec 2022 11:28 WIB

Anggota Komisi I DPR Nilai KUHP Baru Sejalan Tuntutan Perkembangan Zaman  

KUHP suatu negara merupakan ekspresi peradaban bagi negara yang bersangkutan.

Sejumlah Anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (6/12/2022). Rapat Paripurna DPR tersebut mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang. Republika/Prayogi
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah Anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (6/12/2022). Rapat Paripurna DPR tersebut mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang. Republika/Prayogi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan dinilai sebagai upaya nyata bangsa Indonesia mengganti tatanan hukum positif agar sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan perkembangan zaman. Anggota Komisi I DPR, Krisantus Kurniawan, menilai hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan yaitu upaya melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana.

“KUHP suatu negara merupakan ekspresi peradaban bagi negara yang bersangkutan. Penggantian tatanan hukum tersebut merupakan penggantian atau perubahan secara mendasar dan rasional,” ujarnya dalam Webinar bertema ‘Urgensi Pembaruan KUHP’.

Menurut politisi asal pemilihan Kalimantan Barat ini, pembaruan Hukum Pidana merupakan upaya untuk mengganti tatanan Hukum Pidana Positif (Ius Constitutum) dengan tatanan hukum pidana yang dicita-citakan (Ius Constituendum). Pada akhirnya pembaruan hukum pidana harus secara nyata diwujudkan melalui kebijakan atau politik hukum pidana.

Tentu saja, lanjutnya, pembaharuan hukum pidana tersebut sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. “Maka pembaruan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach),” tuturnya.

Senada dengan hal itu, Ismail Cawidu, akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menegaskan saat ini dalam penegakan hukum pidana di Indonesia masih menggunakan KUHP yang berasal dari Wetboek van Strafrecht atau peninggalan Belanda tahun 1946. Hal ini berakibat pada banyaknya jenis perbuatan pidana yang belum diatur dalam KUHP saat ini. 

"Sehingga KUHP lama sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini yang sangat dinamis akibat perubahan sosial, teknologi informasi namun masih melesatarikan adat ketimuran,” tutur Ismail.

Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut menilai KUHP baru disusun dengan mendasarkan pemikiran pada aliran klasik. Aliran yang menjaga keseimbangan antara faktor objektif (faktor lahiriyah) dan faktor subjektif (pendekatan batiniyah).

“KUHP baru ini tidak lagi membedakan antara tindak pidana kejahatan dan pelanggaran dan mengakomodir hukum-hukum yang masih hidup dan berlaku di tengah masyarakat. Ini jauh lebih maju dibandingkan KUHP lama dan masih berlaku saat ini,” paparnya.

Akademisi Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta, Algooth Putranto, menegaskan tiga tahun depan menjadi ajang pertaruhan bangsa Indonesia antara pihak yang setuju maupun yang tidak setuju dengan KUHP baru. Sejak disahkan DPR pada 6 Desember, pertarungan dialektika tentang KUHP baru sudah bukan lagi di jalanan atau di ruang akademis. 

"Pertarungan sudah bergeser ke Mahkamah Konstitusi, dalam hal ini para penentang harus mempersiapkan diri dengan baik dan Pemerintah harus berbesar hati dengan perdebatan ini,” tuturnya.

Pengajar Ilmu Komunikasi yang menekuni pertarungan dialektika ruang publik tersebut menegaskan Pemerintah harusnya mengurangi upaya menguasai ruang publik (public sphere) secara tidak sehat dengan menggunakan buzzer seperti halnya ketika menghadapi aksi demonstrasi para penentang KUHP pada 2019.

“Biarkan masyarakat berdialektika, upaya mendistorsi dialektika akan membuat masyarakat sipil semakin tidak percaya dengan upaya pemerintah. Biarlah masyarakat berdebat secara sehat. Justru di situ letak indahnya proses demokrasi,” pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement