REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI memanggil perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait komentarnya tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kemenlu mengatakan, akan menjelaskan kepada perwakilan luar negeri di Indonesia terkait masalah ini.
"Ini merupakan salah satu tata hubungan berdiplomasi dan ada baiknya adab yang berlaku dalam interaksi perwakilan asing termasuk PBB di suatu negara," ujar juru bicara Kemenlu Teuku Faizasyah pada konferensi pers di Jakarta, Senin (12/12/2022).
Kemenlu mengatakan, tidak menggunakan jalur media massa sebagai alat untuk menyampaikan hal yang belum diverifikasi apalagi dalam komunikasi diplomatik. Oleh karenanya, Kemenlu memanggil perwakilan PBB dan hari ini Kemenlu mengundang Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Prof Dr Edward Omar Sharif Hiariej atau Prof Eddy untuk membicarakan mengenai kejelasan KUHP yang beredar di masyarakat luas.
"Jalur komunikasi kan selalu ada untuk membahas berbagai isu, dan untuk itu alasan kami mengundang Wamenkumham untuk menyampaikan penjelasan berbagai pertanyaan yang muncul di media yang belum terjawab juga," kata Faizasyah.
Faizasyah juga menyampaikan agar perwakilan asing termasuk PBB untuk tidak secara terburu-buru mengeluarkan pendapat atau pernyataan sebelum mendapatkan satu informasi yang lebih jelas. Hal ini terkait pernyataan Perwakilan PBB di Indonesia yang menyerukan kepada otoritas eksekutif dan legislatif untuk menyelaraskan hukum di dalam negeri dengan kewajiban hukum hak asasi manusia internasional Indonesia terkait KUHP baru. Hal ini salah satunya merujuk pada sejumlah pasal yang berpotensi mengkriminalisasi kerja jurnalistik dan melanggar kebebasan pers.
"Forum-forum seperti memang ditujukan untuk memberikan informasi secara lebih jelas lagi dan justru kesempatan bertemu dengan Kemlu jadi kesempatan bagi mereka sebagai perwakilan diplomatik menyampaikan pandangan mereka dan kita akan jawab atau memberikan penjelasan, ini adalah norma-norma dalam hubungan diplomatik yang sepatutnya dilakukan oleh perwakilan asing di suatu negara," katanya. Kendati begitu, ia tidak merinci pembahasan terkait pada pertemuan dengan perwakilan PBB.
Sementara itu, Eddy menjelaskan secara rinci dasar-dasar dari KUHP yang belakangan menjadi kontroversial karena sejumlah pasal yang dinilai bertentangan dengan kebijakan hukum internasional dan hak asasi manusia. Ia mengatakan, bahwa setelah 77 tahun Indonesia merdeka, Indonesia akhirnya memiliki KUHP nasional.
"KUHP akan mulai berlaku efektif 3 tahun terhitung sejak diundangkan. Jadi sekali lagi belum berlaku saat ini, kita masih memiliki waktu 3 tahun ke depan," ujarnya dalam kesempatan konferensi pers yang sama.
Ia menegaskan bahwa KUHP disusun dengan cermat dan hati-hati. apapun yang menjadi pertimbangan adalah keseimbangan antara kepentingan individu, kepentingan negara dan kepentingan masyarakat serta mempertimbangkan kondisi bangsa yang multietnis, multireligius dan multikultur.
Pasal Pers
Eddy mengatakan, terkait kemerdekaan pers juga tetap terjamin di dalam KUHP bari. Hal ini dapat ditemukan dalam penjelasan pasal 218 dan 240 KUHP yang mengadopsi Pasal 6 huruf B undang-undang No 40 tahun 1999 tentang pers.
"Di situ dikatakan bahwa kritik merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat sehingga jelas tidak dapat dipidana," katanya.
Ia berharap KUHP dengan ratusan pasal di dalamnya yang berlaku tiga tahun lagi, tidak akan mengganggu kepentingan masyarakat, pelaku usaha, wisatawan maupun investor asing. "Selama penegakan hukum yang sesuai dengan tujuan dari pembaharuan hukum pidana melalui KUHP sebagai cerminan paling jujur dari peradaban hukum bangsa Indonesia," kata dia.
KUHP baru disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (6/12/2022) lalu. Dalam draft terakhir KUHP, Undang-Undang terdiri dari 624 pasal dan 37 bab.