Senin 12 Dec 2022 09:09 WIB

Senator DPD: Pernyataan Wamenkumham Soal RUU KUHP Tidak Elok

MK jangan jadi 'tahapan' pembentukan undang-undang.

Rep: muhammad subarkah/ Red: Muhammad Subarkah
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/11/2022). Rapat tersebut membahas penyempurnaan RUU tentang KUHP. Republika/Prayogi.
Foto: Republika/Prayogi
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/11/2022). Rapat tersebut membahas penyempurnaan RUU tentang KUHP. Republika/Prayogi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Senator DPD, DR Abdul Kholik, mengatakan pernyataan wakil menteri hukum dan HAM (Wamenkumham) yang menyatakan siap menghadapi gugatan di Mahkamah Konstitusi terkait pengesahan RUU KUHP adalah tidak elok karena terkesan menantang publik. Padahal hal itu seharusnya tidak dilakukan.

''Proses pembentukan undang-undang harus sudah melibatkan sebanyak mungkin partisipasi masyarakat. Kalau masih ada keberatan maka harus diterima sebagai sebuah masukkan. Bisa jadi pada proses pembahasan RUU KUHP terdapat masyrakat yang belum diberi kesempatan terlibat,'' kata Abdul Kholik, di Jakarta, Senin pagi (11/12/2022).

Menurut Kholik, dalam beberapa tahun terakhir terdapat kecenderungan penolakan masyarakat setiap ada RUU yang disahkan, seperti RUU KPK, RUU Cipta Kerja, RUU IKN. Hal ini bisa jadi ada masalah dalam proses legislasi di DPR.

''Semestinya proses legislasi bisa tuntas serta mendapat dukungan publik sebanyak mungkin. Sehingga dalam pelaksanaanya bisa berjalan efektif,'' ujarnya.

Ditegaskan Kholik, proses pengadilan gugatan sebuah undang-undang di Mahkamah Konstitusi itu hendaknya tidak dijadikan alasan. Ini karena seolah-olah pembentukan undang-undang masih ada tahapan lagi di Mahkamah Konstitusi. Tentu saja kenyataan tersebut menjadi preseden buruk apa bila setiap undang-undang yang baru saja disahkan langsung digugat di Mahkamah Konstitusi.

''Maka proses pembuatan undang-undang selain menjadi lebih panjang, akan bisa menggerus kepercayaan kepada parlemen karena dianggap proses pembahasannya tidak tuntas. Ini menjadi preseden buruk dalam tata kenegaraan kita. Bagi Mahkamah Konstitusi juga bisa membuat dilema sebab kalau menolak gugatan dianggap hanya melegalisasi DPR/pemerintah, sebaliknya kalau menerima gugatan akan dianggap mementahkan proses legislasi parlemen,'' tegasnya.

Melihat hal itu, ujar Kholik, sudah selayaknya di masa depan proses legislasi di evaluasi agar setiap pengesahan undang-undang tidak langsung digugat ke Mahkamah Konstitusi. Sebab, idealnya Mahkamah Konstitusi hanya menguji undang-undang yang telah dilaksanakan dan menimbulkan kerugian konstitusional bagi warga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement