Senin 12 Dec 2022 13:20 WIB

Wamenkumham: Pasal Penyerangan Harkat Presiden tak Kolonial

Pasal penyerangan harkat Presiden masuk dalam delik aduan.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Teguh Firmansyah
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej.
Foto: Republika/Prayogi
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy menjelaskan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah disahkan DPR menjadi undang-undang telah dimodernisasi sesuai dengan perkembangan hukum pidana saat ini. Beleid itu tak lagi bersifat kolonial seperti KUHP yang lama.

Salah satunya adalah Pasal 218 tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan/atau wakil presiden yang ditegaskannya sudah bersifat dekolonisasi. Di dalamnya diatur terkait delik aduan.

Baca Juga

"Kita mengatakan pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, termasuk pasal penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara itu yang ada dalam KUHP baru itu adalah dekolonisasi," ujar Eddy dalam diskusi daring yang digelar Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dikutip Senin (12/12).

Kemudian, ia menceritakan sejarah hadirnya pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dalam KUHP yang lama. Pasal tersebut dijelaskannya berasal dari codex atau kitab hukum Inggris untuk wilayah jajahannya di India.

Selanjutnya, terjadilah Traktat London atau perjanjian antara Inggris dan Belanda pada 1824. Hal itu berbarengan dengan Belanda yang juga ingin mengubah KUHP. Dari situ akhirnya Belanda memasukkan codex dari Inggris ke dalam KUHP lama yang di dalamnya terdapat pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan pemerintah.

"Memang dia itu betul pasal kolonial yang kita kenal dengan pasal-pasal penyebar kebencian dan itu luas sekali kejahatan terhadap kekuasaan umum. Itu jangankan terhadap pemerintah pusat, terhadap RT, lurah, segala macam bisa kok pakai pasal itu," ujar Eddy.

Setidaknya ada tiga ciri pasal kolonial yang ada dalam KUHP lama. Pertama, yakni delik biasa bukan delik aduan, sehingga siapapun bisa melapor. Kedua adalah delik abstrak yang sengaja dibuat tidak jelas. Terakhir adalah delik yang menimbulkan keadaan bahaya.

"Hanya tinggal dua (dalam KUHP baru), yaitu pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, dan penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara. Itu mengalami dekonstruksi yang tadinya pasal kolonial menjadi bukan kolonial, yang kita kenal dengan istilah dekolonisasi," ujar Eddy.

Adapun pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dan/atau wakil presiden disebutnya tidak akan pernah selesai penolakannya. Namun ia dapat memastikan, pasal tersebut diatur sangat ketat dalam KUHP yang sudah disahkan oleh DPR menjadi undang-undang.

KUHP yang baru sendiri baru akan berlaku tiga tahun setelah diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam masa transisi tersebut, ia mengakui akan menjadi tugas berat pemerintah dan DPR untuk menyosialisasikan kitab undang-undang pidana nasional yang baru tersebut.

"Tugas terberat pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang dalam tiga tahun ke depan ini adalah melakukan sosialisasi. Terutama, bukan kepada siapa-siapa, kepada aparat penegak hukum supaya tidak ada kesalahan penafsiran, tidak multitafsir," ujar Eddy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement