REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu divonis bebas dalam sidang di Pengadilan Negeri Makassar pada Kamis (8/12/2022). Isak merupakan terdakwa tunggal dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai pada 2014.
Majelis hakim meyakini Isak tak terbukti melakukan pelanggaran HAM dalam kasus Paniai. Dengan demikian, Isak Sattu bisa terus menghirup udara bebas.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat sebagaimana dalam dakwaan kesatu dan kedua," kata Hakim Ketua Sutisna Sawati dalam persidangan tersebut.
Atas dasar itulah, Majelis Hakim meyakini Isak Sattu pantas dilepaskan dari semua tuntutan. Sebab Isak dianggap tak terbukti melakukan kejahatan sebagaimana dalam tuntutan Jaksa.
"Membebaskan terdakwa dari semua tuntutan," ujar Sutisna.
Selain itu, Majelis Hakim memutuskan agar hak Isak Sattu dikembalikan lagi seperti sedia kala. "Memulihkan hak-hak terdakwa sebagaimana disebutkan," ucap Sutisna.
Sebelumnya, Isak Sattu dituntut penjara 10 tahun dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah. Namun Isak divonis bebas karena dakwaan pertama Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) tak terbukti.
Kemudian dakwaan kedua Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM juga tak terbukti.
Peristiwa 'Paniai Berdarah' diketahui terjadi pada 8 Desember 2014 di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Kabupaten Paniai. Peristiwa itu terkait dengan aksi personel militer dan kepolisian saat pembubaran paksa aksi unjuk rasa dan protes masyarakat Paniai di Polsek dan Koramil Paniai pada 7-8 Desember 2014.
Aksi unjuk rasa tersebut berujung pembubaran paksa dengan menggunakan peluru tajam. Empat orang tewas dalam pembubaran paksa itu adalah Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo dan Simon Degei.