Rabu 07 Dec 2022 13:43 WIB

Henri Subiakto Jelaskan Beda Pasal Penghinaan Presiden di UU KUHP dengan yang Lama

Pasal itu dimaksudkan menjaga kehormatan presiden dan wapres sebagai simbol negara.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Teguh Firmansyah
Aliansi masyarakat dan mahasiswa menggelar unjuk rasa menolak pengesahan RKUHP di Tugu Pal Putih, Yogyakarta, Selasa (6/12/2022). Mereka menolak pengesahan RKUHP karena menganggap banyak pasal-pasal yang bermasalah.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Aliansi masyarakat dan mahasiswa menggelar unjuk rasa menolak pengesahan RKUHP di Tugu Pal Putih, Yogyakarta, Selasa (6/12/2022). Mereka menolak pengesahan RKUHP karena menganggap banyak pasal-pasal yang bermasalah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Guru Besar FISIP Universitas Airlangga yang juga Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika periode 2007-2022 Prof Henri Subiakto menjelaskan soal kontroversi pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang telah disahkan DPR. Henri mengakui, pasal serupa pada KUHP lama telah dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Namun kini ada yang berbeda.

"Kenapa ini sudah di-judicial review MK, kemudian muncul kembali di undang-undang yang baru? Oh ini beda," kata Henri saat sosialisasi KUHP 'Anti Hoaks UU KUHP' yang disiarkan daring, Rabu (7/12/2022).

Baca Juga

Henri menjelaskan perbedaan pasal penghinaan presiden di KUHP lama dengan yang terbaru, yakni pada jenis deliknya. Pada KUHP lama yang telah dibatalkan MK, pasal penghinaan presiden merupakan delik umum yang membuat aparat penegak hukum bisa bertindak langsung.

"Jadi bisa langsung tiba-tiba ditangkap polisi, yang melakukan pelaporan maupun pengaduan tidak harus presiden, siapapun bisa, lalu polisi bisa menangani karena dulu delik umum," ujar Henri.

Sedangkan, di KUHP yang baru disahkan, kata Henri, pasal penghinaan presiden bisa diproses pidana, jika presiden maupun wakil presiden melakukan pelaporan atau pengaduan.

Namun demikian, ketentuan mengatur presiden dan wakil presiden dapat diwakili oleh pengacara yang ditunjuk secara resmi. "Hanya disebut persoalan pidana atau delik kalau presiden atau wakil presiden itu yang melaporkan atau mengadukan. Jadi ini delik aduan," ujar Henri.

"Cuma memang bedanya kalau sekarang presiden diwakili oleh pengacaranya jadi presiden tidak harus datang ke Polres atau ke Polda tapi bisa diwakili oleh pengacaranya," kata dia.

Dia juga menjelaskan alasan pemerintah dan DPR memasukkan beleid pasal 218, pasal 219 dan pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden. Ini dimaksudkan untuk menjaga kehormatan presiden dan wakil presiden sebagai simbol negara.

Namun demikian, dia menegaskan, ketentuan ini tidak termasuk dalam mengkritik kinerja presiden dan wakil presiden. "Presiden adalah simbol negara, presiden adalah orang yang dipilih oleh sebagian besar masyarakat Indonesia maka jangan begitu mudah untuk menyerang kehormatannya, tetapi kalau kritik boleh, menyampaikan pendapat boleh, menganggap bahwa  kebijakannya salah, kebijakannya keliru, kebijakan itu harus dikoreksi itu adalah hak konstitusional," ujarnya.

Karena itu, dia meminta masyarakat dapat memahami penghinaan dan mengkritik kebijakan adalah hal berbeda. "Jadi Anda mengkritik pemerintah itu hak konstitusional, Anda mengkritik presiden itu hak konstitusional, Anda mengkritik wakil presiden dan  perilaku dan sebagainya itu hak konstitusional, tetapi ketika anda menghina, memfitnah menuduh yang tidak benar itu Anda menyerang basic right dari orang yang ada tuduh atau hina," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement