Selasa 06 Dec 2022 19:00 WIB

RKUHP Disahkan, Indonesia Dinilai akan Alami Kemerosotan Demokrasi

KUHP baru dinilai kian membahayakan demokrasi dan perlindungan kebebasan berekspresi.

Massa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP melakukan aksi berkemah di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (6/12/2022). Dalam aksinya, mereka menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru disahkan DPR RI, karena dinilai proses pembentukannya tidak partisipatif dan transparan serta memiliki pasal-pasal yang bermasalah yang berpotensi mengancam hak-hak masyarakat. Republika/Thoudy Badai
Foto:

Di antara pasal-pasal dalam RKUHP yang dinilai terkait dengan iklim demokrasi adalah terkait penghinaan terhadap pemerintahan dan lembaga negara dan pasal tentang kegiatan menyampaikan pendapat dan unjuk rasa. Terkait hal ini, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari menilai ada perbedaan signifikan dalam draf perubahan terakhir RKUHP pada 24 November 2022 lalu jika dibandingkan versi 2019.

 

Dalam draf terbaru, tulisan atau lisan menghina pemerintahan atau lembaga negara dipidana pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan. Atau pidana denda paling banyak kategori dua.

Dalam ayat berikutnya, jika delik penghinaan itu berakibat terjadinya kerusuhan dipidana paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori empat. Dengan penambahan, pasal ini dijadikan delik aduan, sehingga tidak sembarangan orang bisa membuat aduan.

"Polisi tidak bisa membuat aduan orang biasa tidak bisa membuat aduan. Yang bisa membuat aduan dalam ayat berikutnya kita buat menjadi hanya pimpinan lembaga negaranya saja membuat aduan tertulis," kata Taufik, Rabu pekan lalu.

Contoh, penghinaan terhadap Mahkamah Agung (MA) yang bisa membuat aduan tertulis ini hanya Ketua MA. Artinya, tidak bisa Hakim Agung Panitera, pejabat-pejabat MA atau sembarangan orang yang bisa membuat aduan tersebut.

"Kemudian, diberikan juga penjelasan mengenai pembedaan dengan kritik seperti apa serta bagaimana pasal ini tetap melindungi demokrasi itu semua ada di dalam penjelasan 240 ini," ujar Taufik.

Terkait pasal tentang penyerangan kehormatan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, ia mengaku sejak awal meminta pasal ini dihapuskan. Sebab, pasal serupa sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu Pasal 134 KUHP.

Tetapi, pemerintah menganggap pasal ini harus tetap ada karena menurut pemerintah rumusannya berbeda. Perbedaan terletak pada pasal ini bukan delik penghinaan, tapi menyerang kehormatan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.

Kemudian, pasal ini bukan delik biasa, tapi delik aduan. Artinya, hanya presiden dan wakil presiden saja yang dapat mengadukannya ke polisi bila ada perbuatan yang dianggap melanggar pasal ini dan penjelasannya diberikan sedemikian rupa.

"Sama seperti penjelasan yang ada di 240 bahwa penjelasan ini membedakan kritik dan tetap menjaga nilai-nilai demokrasi dan sebagainya," kata Taufik.

Adapun, terkait pasal 256 dalam draf RKUHP teranyar, disebutkan pasal itu bukan delik terkait unjuk rasa, melainkan lebih merupakan delik terganggunya ketertiban umum. Taufik menyebut, pasal tersebut ditujukan agar tiap unjuk rasa yang diselenggarakan berkoordinasi bersama pihak aparat sehingga tidak mengganggu ketertiban umum, jalannya lalu lintas, maupun kepentingan pihak lain.

"Sekarang yang paling penting, pasal ini mesti dibaca dengan keseluruhan RKUHP ini yakni semangat dalam RKUHP bukan semangat punitive, karena rencana KUHP baru ini semangatnya dilandaskan pada upaya restorative," katanya.

Untuk itu, Taufik mengatakan pihak pemerintah maupun DPR perlu mensosialisasikan pasal tersebut maupun pasal dalam RKUHP lainnya kepada aparat penegak hukum agar tidak salah kaprah dalam menerapkannya dan lebih selektif dalam mengimplementasikannya.

"Jadi sebenarnya yang dipermasalahkan teman-teman bukan substansi pasal, melainkan bagaimana penerapannya," ucapnya.

Dia menggarisbawahi bahwa materi yang disiapkan dalam penyusunan draf RKUHP pun sudah diperhitungkan sedemikan rupa. Sehingga, problemnya terletak pada aspek implementasi nanti setelah RKUHP disahkan menjadi undang-undang.

"Problemnya di implementasi, bukan di substansi materi, tapi implementasinya bisa menimbulkan kekhawatiran berdasarkan pengalaman kita selama ini, yang kita perbaiki bagaimana implementasi ini dengan pemahaman yang benar," katanya pula.

Dalam draf RKUHP versi 30 November, Pasal 256 berbunyi, "Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II".

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement