Kamis 01 Dec 2022 18:54 WIB

Polemik Rambut Putih, Siti Zuhro Sebut Presiden Harus Netral

Pernyataan rambut putih bisa dianggap tidak netral oleh publik.

Rep: Mabruroh/ Red: Indira Rezkisari
Peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro mengatakan, ucapan presiden akan menjadi rujukan dan perbincangan yang senantiasa disorot publik.
Foto: Prayogi/Republika.
Peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro mengatakan, ucapan presiden akan menjadi rujukan dan perbincangan yang senantiasa disorot publik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pernyataan Presiden RI Joko Widodo terkait ‘rambut putih dan kerutan’ masih menjadi misteri sekaligus polemik. Pasalnya, pernyataan orang nomor satu ini bisa dianggap sebagai sinyal dukungannya kepada bakal calon RI selanjutnya.

Selain itu menurut Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), R Siti Zuhro, penyataan Jokowi juga bisa dianggap tidak netral oleh publik. “Pernyataan Jokowi tersebut bisa diterjemahkan dan dimaknai tidak netral oleh publik,” kata Zuhro, Kamis (1/12/2022).

Baca Juga

Menurut Zuhro, pemilihan umum (Pemilu) memberikan peluang kepada calon untuk berkompetisi dan rakyat sebagai pemilik suara akan menentukan pilihannya. “Jokowi tidak sekadar sebagai individu, tapi pada dirinya melekat predikat sebagai presiden (kepala negara dan kepala pemerintahan). Karena itu ucapannya akan menjadi rujukan dan perbincangan yang senantiasa disorot publik,” terang Zuhro.

Zuhro menuturkan, persyaratan tentang calon presiden dan wakil presiden sudah ada ketentuannya. Meskipun demikian kalau ditarik ke tataran makro, konstitusi Indonesia tidak cukup melembagakan proses seleksi pemimpin secara demokratis, tapi hanya mengatur prinsip-prinsip ketatanegaraan dan pemerintahan quasi presidensial yang bersifat umum.

“Konstitusi masih dipengaruhi oleh sistem kabinet parlementer pasca-Proklamasi,” kata dia.

Zuhro melanjutkan, perjalanan demokrasi terputus sejak 1958-1959 sehingga tradisi seleksi kepemimpinan belum melembaga. Dalam hal ini, para pemimpin Republik terpanggil dan terpilih melalui seleksi sejarah.

Praktik sistem Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru menutup peluang lahirnya pemimpin secara “normal” karena menempatkan birokrasi, sipil dan militer sebagai satu-satunya sumber rekrutmen pemimpin (bureaucratic polity). Praktik sistem demokrasi pasca orde baru (era reformasi) ditandai dengan diselenggarakannya pemilu secara teratur lima tahun sekali, sehingga menghasilkan suksesi kepemimpinan yang ajeg.

Meskipun begitu dengan sistem multipartai banyak dan sistem presidensial tak jarang membuat kerumitan tersendiri karena pemerintah dinilai kurang efektif dalam mengeksekusi program-program yang bermanfaat untuk rakyat. “Terkait dengan pemilu 2024, pemerintah bertanggungjawab atas kesuksesannya. Karena itu, pemilu 2024 yang notabene sangat kompleks itu harus disiapkan dengan baik,” kata Zuhro.

Pemerintah dan semua stakeholders pemilu partai politik (sebagai peserta pemilu), KPU, Bawaslu, DKPP, institusi penegak hukum, dan birokrasi memiliki tugas dan fungsi serta peran masing-masing yang harus diembannya secara efektif agar pemilu berjalan lancar, berkualitas, berkeadaban dan damai. “Presiden seharusnya above all selama mengemban tugasnya sebagai presiden, tidak menunjukkan dukungan dan pilihannya terhadap calon tertentu karena hal ini akan menyulut kontroversi dan polemik serta perdebatan publik yang tak pernah henti.

Sementara tugas-tugas Presiden yang utama adalah menjalankan visi besar yang sudah dicanangkan selama periode 2019-2024. Artinya Presiden tidak perlu memerankan dirinya sebagai pengabsah calon presiden karena hal ini akan menimbulkan diskriminasi terhadap calon-calon yang ada.

Sesuai dengan konstitusi, rekrutmen capres–cawapres akan dilakukan partai-partai politik. Karena itu, serahkan saja ke partai politik untuk melakukan rekrutmen itu agar tidak memunculkan silang sengkarut.

Polemik dukungan para elite terhadap calon-calon yang akan berkompetisi harus mengikuti koridor yang ada, tidak melanggar etika atau kepatutan sehingga awal tahapan pemilu 2024 dimulai dengan kompetisi yang sehat. Bukan malah sebaliknya diinterupsi oleh narasi, diksi atau ujaran-ujaran negatif yang cenderung saling mengasikan satu sama lain.

Zuhro mengatakan, bangsa Indonesia harus belajar dari pemilu dan pilkada yang sudah dilaksanakan sejak 1999 dan bisa mempertimbangkan dampak-dampaknya terhadap negara dan rakyat. Karena itu, para elite dan aktor silahkan saja ikut berkompetisi dalam pemilu 2024, namun jangan melupakan tanggung jawabnya kepada negara dan rakyat.

“Dengan begitu kita berharap agar semua kita bisa berperan positif sesuai dengan porsi masing-masing untuk mengawal pemilu 2024 agar tidak disimpangkan dan melanggar hukum. Mari kita hindari pemilu yang bisa menuai sengketa dan konflik serta kerusuhan."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement