Selasa 29 Nov 2022 00:33 WIB

Peneliti Sebut Penelitian BPA di AS Terbatas pada Kemasan Kaleng

Peneliti di Indonesia meminta pemeriksaan kadar BPA tidak hanya pada minuman kemasan

Proses pengisian air minum dalam kemasan galon (ilustrasi). Penelitian kemasan kaleng di Universitas Stanford dan Johns Hopkins University yang dipublikasikan Environmental Research baru-baru ini menunjukkan adanya paparan Bisfenol A (BPA) pada makanan kaleng. Disebutkan, semakin banyak mengkonsumsi makanan kaleng maka akan semakin berpeluang untuk seseorang terkontaminasi BPA.
Foto: Dok Aqua
Proses pengisian air minum dalam kemasan galon (ilustrasi). Penelitian kemasan kaleng di Universitas Stanford dan Johns Hopkins University yang dipublikasikan Environmental Research baru-baru ini menunjukkan adanya paparan Bisfenol A (BPA) pada makanan kaleng. Disebutkan, semakin banyak mengkonsumsi makanan kaleng maka akan semakin berpeluang untuk seseorang terkontaminasi BPA.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penelitian kemasan kaleng di Universitas Stanford dan Johns Hopkins University yang dipublikasikan Environmental Research baru-baru ini menunjukkan adanya paparan Bisfenol A (BPA) pada makanan kaleng. Disebutkan, semakin banyak mengkonsumsi makanan kaleng maka akan semakin berpeluang untuk seseorang terkontaminasi BPA. 

“Saya dapat makan tiga kaleng peach, orang lain bisa makan satu kaleng sup krim jamur, dan saya memiliki paparan lebih besar terkena BPA," kata pemimpin penelitian, Jennifer Hartle dari Stanford Prevention Research Center, seperti dilansir Laboratory Equipment.

Seperti diketahui, BPA merupakan senyawa kimia yang diberikan sebagai pelapis dalam kaleng makanan. Senyawa ini sempat menjadi senyawa andalan dalam pembuatan kemasan, namun sifat kimia yang mirip hormon membuat bahan ini dilarang pada beberapa produk seperti botol bayi.

Penelitian berfokus pada analisis kadar BPA dalam produk makanan kaleng dan mengukur paparan senyawa itu pada sekelompok manusia. Hartle dan tim menemukan bahwa makanan kaleng dengan BPA tinggi berpengaruh pada kandungan senyawa tersebut dalam urin manusia

Kandungan BPA berbeda pada masing-masing jenis makanan. Namun beberapa jenis makanan kaleng rupanya memiliki implikasi besar pada kandungan BPA dalam urin, seperti jenis sup, pasta, sayuran, dan buah.

Studi yang dilakukan oleh Hartle sebelumnya menemukan bahwa anak-anak menjadi pihak yang paling rentan terpapar BPA. Hal ini karena makanan kaleng banyak digunakan pada menu makan siang di sekolah dan aneka jajanan lainnya.

Merujuk kepada penelitian ini, pakar kimia dari Departemen Kimia Universitas Indonesia, Agustino Zulys, pun menyarankan agar BPOM segera melakukan uji laboratorium terhadap paparan BPA yang ada dalam makanan kemasan kaleng juga dan tidak hanya terhadap kemasan galon guna ulang yang berbahan Polikarbonat. Hal itu karena sudah ada penelitian yang dipublikasikan oleh Environmental Research yang menunjukkan bahwa mengkonsumsi makanan kaleng berhubungan dengan tingginya konsentrasi BPA dalam urin.

“BPOM perlu meneliti sejauh mana migrasi dari pelapis kaleng anti karat atau BPA yang terdapat dalam kemasan kaleng itu terjadi ke makanannya. Dalam hal ini, BPOM bisa melakukan kerjasama juga dengan perguruan tinggi,” ujarnya.

Dia menuturkan bahan makanan kemasan kaleng yang bersifat asam bisa memungkinkan BPA yang ada dalam lapisan kaleng terlarut. “Makanya, makanan kaleng tidak boleh untuk makanan-makanan yang sifatnya asam,” tukasnya.

Pakar teknologi pangan dari IPB, Azis Boing Sitanggang, juga mengatakan adanya kecenderungan BPA dalam kemasan makanan kaleng itu bermigrasi ke bahan makanannya. “Tapi, seberapa besar pelepasan BPA-nya kita tidak tahu. Karena di Indonesia belum ada studi untuk meng-compare langsung dan itu perlu dikaji lagi lebih jauh,” tuturnya.

Disebutkan, proses migrasi BPA dari kemasan kaleng itu bisa disebabkan beberapa faktor. Di antaranya proses laminasi BPA-nya, PH atau tingkat keasaman produk dalam kemasan kaleng itu,  dan pindah  panas dari produk pangannya.  Dia mencontohkan sarden, jamur, nanas yang dikalengkan itu beda-beda pindah panasnya saat disterilisasi, sehingga perlakuan kombinasi suhu dan waktu  pemanasannya juga berbeda-beda .  

“Ketika itu beda-beda, berarti  peluang migrasi BPA-nya juga berbeda-beda. Tapi, semakin asam bahan makanannya atau PH semakin rendah, kemungkinan besar bisa merusak laminasi epoksinya,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement