Jumat 25 Nov 2022 17:34 WIB

Anak Bupati Langkat Nonaktif tak Dijerat TPPO Kasus Kerangkeng, Ini Alasan Jaksa

Pasal TPPO justru didakwakan kepada pelaku lapangan, bukan aktor intelektual.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Petugas kepolisian memeriksa ruang kerangkeng manusia yang berada di kediaman pribadi Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.
Foto: ANTARA FOTO/Oman/Lmo/rwa.
Petugas kepolisian memeriksa ruang kerangkeng manusia yang berada di kediaman pribadi Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Negeri (Kejari) Langkat menjawab kritik soal hanya sebagian terdakwa kasus kerangkeng Bupati Langkat nonaktif yang dijerat pasal Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Salah satu terdakwa yang lolos dari pasal TPPO ialah Dewa Perangin-angin yang merupakan anak Bupati Langkat nonaktif.

Empat terdakwa dalam kasus ini yakni Dewa Perangin-angin, Hendra Surbakti, Iskandar Sembiring, dan Hermanto Sitepu hanya dituntut tiga tahun penjara. Keempatnya dituntut terbukti melanggar Pasal 351 ayat 3 Junto Pasal 55 ayat 2 KUHP.

Baca Juga

Tuntutan ini disampaikan Jaksa karena Dewa dan Hendra dinilai menyiksa penghuni kerangkeng, Sarianto Ginting sampai kehilangan nyawa. Sedangkan Iskandar Sembiring dan Hermanto Sitepu dinilai bersalah menganiaya penghuni kerangkeng Abdul Sidik Isnur sampai meninggal.

"Untuk Dewa, Hendra, Hermanto, dan Iskandar pasalnya 351 ayat 3 karena fakta persidangannya disitu adanya penganiayaan yang sebabkan orang meninggal," kata Kasi Intel Kejari Langkat, Sabri Marbun kepada Republika.co.id, Jumat (25/11/2022).

Sabri menyampaikan tuntutan tim jaksa didasarkan pada fakta persidangan yang berjalan selama ini. Sepanjang persidangan, tim Jaksa tak menemukan niat jahat Dewa, Hendra, Hermanto, dan Iskandar terkait TPPO di kasus kerangkeng manusia.

"Kalau Dewa, Hendra, Hermanto, dan Iskandar terbukti yang aniaya, mens rea-nya penganiayaan, jadi kalau dicari mens rea-nya untuk TPPO-nya enggak ada di persidangan," ujar Sabri.

Sabri membantah keempat terdakwa lolos dari TPPO karena disetujuinya pengajuan restitusi atau ganti kerugian kepada korban. Menurutnya, restitusi sudah merupakan kewajiban yang mesti diperoleh korban atas kasus ini.

"Sudah diatur undang-undang, (restitusi) menjadi tolak ukur hal-hal meringankan. Tapi tidak menghapus pidana. Yang jadi korban dia merasa dirugikan begitu diganti dia terima. Dan ini bukan dari jaksa, pengacara, tapi perhitungan resmi dari LPSK," ucap Sabri.

Selain itu, Sabri menampik dengan anggapan bahwa pasal yang dituntut kepada Dewa, Hendra, Hermanto, dan Iskandar berbeda dengan dakwaan. Ia menegaskan pasal yang dituntut sudah ada dalam surat dakwaan.

"Dakwaan ada lima, salah satunya pakai yang alternatif. Kalau beda itu tidak termuat didakwaan, tapi ini termuat kok," tegas Sabri.

Di sisi lain, nasib berbeda dialami Junalista Surbakti, Suparman Perangin-angin, Rajesman Ginting, dan Terang Ukur Sembiring yang juga berstatus terdakwa dalam kasus ini. Mereka didakwa telah melanggar Pasal 10 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO. Mereka menghadapi tuntutan delapan tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan.

Sabri menjelaskan tuntutan itu diberikan kepada mereka karena memenuhi unsur TPPO. Terang Ukur Sembiring dinilai terbukti sebagai kepala dan pembina kerangkeng. Sedangkan Junalista Surbakti, Suparman Perangin-angin, dan Rajesman Ginting berperan sebagai pengurus kerangkeng.

"Untuk Junalista, Suparman, Rajesman, dan Terang itu karena mereka pengurus langsung. Mereka ada unsur eksploitasi, sementara yang lain enggak terlibat sebagai pengurus. Fakta persidangannya seperti itu," ujar Sabri.

Sebelumnya, Tim Advokasi Penegakan Hak Asasi Manusia (TAP-HAM) melakukan pemantauan langsung proses sidang kasus kerangkeng. Proses persidangan tersebut terbagi menjadi dua jenis, yakni persidangan bagi aparat TNI di Pengadilan Militer I-02 Medan, dan terdakwa sipil di Pengadilan Negeri Stabat.

"Hasil pemantauan TAP-HAM menunjukan bahwa dalam proses sidang yang sedang diproses ada upaya untuk membuat kabur fakta peristiwa seperti sidang dalam perkara 469/Pid.Sus/2022/PN Stb dengan agenda pemeriksaan saksi TRP (Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin) yang berdalih tidak mengetahui proses pendirian hingga tindakan yang terjadi di kerangkeng manusia," tulis keterangan resmi TAP-HAM yang terdiri dari KontraS dan PBHI.

Selain itu, penerapan pasal TPPO justru didakwakan kepada pelaku lapangan, bukan aktor intelektual. Kemudian, berkas perkara TRP yang disangkakan pasal TPPO belum dilimpahkan ke pengadilan untuk disidang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement