Jumat 18 Nov 2022 19:44 WIB

Komnas HAM: Napi Hingga Buruh Perkebunan Sulit Gunakan Hak Pilih

Komnas HAM sebut napi hingga buruh perkebunan sulit menggunakan hak pilih di pemilu.

Rep: Febryan A/ Red: Bilal Ramadhan
Wakil Ketua Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi sebut napi hingga buruh perkebunan sulit menggunakan hak pilih di pemilu.
Foto: Republika/Dian Erika Nugraheny
Wakil Ketua Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi sebut napi hingga buruh perkebunan sulit menggunakan hak pilih di pemilu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komnas HAM Pramono Ubaid Tantowi memperkirakan sejumlah kelompok masyarakat akan sulit menggunakan hak pilihnya saat gelaran Pemilu 2024. Pasalnya, para kelompok rentan ini kerap tidak terdata. Di sisi lain, ada pula permasalahan distribusi logistik pemilu yang akan menghambat mereka untuk mencoblos.

Kelompok pertama adalah para disabilitas. Masalahnya, kata Pramono, masih banyak masyarakat yang menyembunyikan anggota keluarganya yang disabilitas saat pendataan. Biasanya karena mereka menganggap anggota keluarga yang disabilitas sebagai aib.

Baca Juga

"Padahal dari pendataan yang baik itu lah proses pemenuhan fasilitas dari KPU-nya itu akan lebih maksimal. Kalau tidak diketahui ia disabilitasnya apa, maka ya dianggap ia adalah pemilih yang normal sehingga di TPS tidak terlayani," kata Pramono kepada wartawan, Jumat (18/11/2022).

Kedua, para pekerja perkebunan. Pekerja perkebunan ini biasanya tidak terdata sebagai pemilih karena alamat KTP-nya beda dengan lokasi kebun tempatnya menetap. Padahal, daftar pemilih tetap (DPT) beserta lokasi pencoblosannya ditentukan berdasarkan KTP.

"Apalagi yang perkebunannya itu skalanya ribuan hektar. Mereka penduduk dari mana-mana, tapi dikumpulkan di situ, tapi KTP-nya bukan KTP situ. Jadi, dari yang sifatnya administrasi lalu menjadi kehilangan hak konstitusional," ujar mantan Komisioner KPU RI itu.

Ketiga, para pengungsi. Masalahnya serupa dengan buruh perkebunan. Di tempat pengungsian, mereka biasanya belum tercatat sebagai warga setempat. Di sisi lain, mereka juga tak mungkin kembali ke daerah asal yang masih dilanda bencana atau konflik, hanya untuk ikut pemilu.

"Ini juga jadi problem yang sulit ditangani. Ini harus dicari jalan keluarnya," kata Pramono.

Keempat, para narapidana. Jumlah mereka mencapai 275 ribu orang dan tersebar di lembaga permasyarakatan di seluruh Indonesia. Masalah kelompok ini juga soal alamat KTP.

"Misalkan Anda dari Ponorogo, tapi Anda dipenjara di Bogor, KTP anda tetap Ponorogo. Jadi ketika Anda didata, Anda tidak bisa menggunakan hak pilih Ponorogo karena Anda sedang di Bogor," kata Pramono.

Kalaupun KPU bisa mendata semua napi ini, mereka akan tetap sulit menunaikan hak pilihnya. "Tidak mungkin memindahkan hak suara dari Ponorogo hanya untuk melayani itu. Dari segi waktu, teknisnya sangat beririsan karena di tiap kota ada lapas, sementara di lapas bercampur narapidana dari mana-mana," ungkapnya.

Kemungkinan mereka hanya bisa menggunakan hak pilih untuk pemilihan presiden dengan memakai surat suara cadangan dari TPS yang berlokasi dekat lembaga pemasyarakatan. Itu pun tidak semua napi bisa gunakan hak pilih karena surat suara cadangan tentu terbatas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement