Kamis 10 Nov 2022 16:56 WIB

Kecelakaan Sriwijaya Air Bisa Dihindari Jika Faktor Ini tak Terjadi

Pesawat Sriwijaya SJ 182 jatuh di perairan Kepulauan Seribu pada 9 Januari 2021.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Nidia Zuraya
Petugas membawa kotak yang berisi Cockpit Voice Recorder (CVR) Sriwijaya Air SJ-182 di Dermaga JICT 2, Tanjung Priok, Jakarta, 31 Maret 2021.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Petugas membawa kotak yang berisi Cockpit Voice Recorder (CVR) Sriwijaya Air SJ-182 di Dermaga JICT 2, Tanjung Priok, Jakarta, 31 Maret 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyimpulkan beberapa faktor yang berkontribusi dalam kecelakaan pesawat Sriwijaya Air dengan nomor registrasi PK-CLC. Pesawat dengan nomor penerbangan SJ 182 rute Jakarta-Pontianak tersebut jatuh di perairan Kepulauan Seribu pada 9 Januari 2021. 

"Faktor yang berkontribusi ini adalah apabila ini tidak ada maka tidak terjadi, kecelakaan bisa tidak terjadi atau konsekuensinya lebih kecil," kata Kepala Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo dalam konferensi pers di Gedung KNKT, Kamis (10/11/2022). 

Baca Juga

Nurcahyo menjelaskan, faktor yang berkontribusi dalam kecelakaan tersebut saling berkaitan dan tidak berdiri sendiri. Faktor pertama, yakni adanya tahapan perbaikan sistem autothrottle atau pengatur tenaga mesin pesawat yang telah dilakukan namun belum mencapai bagian mekanikal. 

"Kalau perbaikan autothrottle bisa sampai ke mekanikal maka pesawat bisa tidak terjadi kecelakaan," ucap Nurcahyo. 

Faktor kontribusi kedua, yaitu thrust lever atau tuas dorong kanan tidak mundur sesuai permintaan autopilot. Hal tersebut terjadi karena hambatan pada sistem mekanikal sehingga tuas dorong kiri mengkompensasi dengan terus bergerak mundur sehingga terjadi asimetri. 

Lalu, faktor kontribusi ketiga yaitu keterlambatan sistem Cruise Thrust Split Monitor (CTSM) yang berfungsi menonaktifkan autothrottle pada saat asimetri terjadi. "Ini disebabkan karena flight spoiler memberikan nilai yang lebih rendah berakibat asimetri yang lebih besar," tutur Nurcahyo. 

Faktor keempat, kepercayaan pilot pada otomatisasi dan konfirmasinya bias dimungkinkan mengakibatkan kurangnya monitoring. "Ini sehingga tidak disadarinya adanya asimetri dan penyimpanan arah penerbangan," ucap Nurcahyo. 

Kondisi tersebut menyebabkan adanya faktor kontribusi kelima yakni pesawat berbelok ke kiri dari yang seharusnya ke kanan. Sementara itu, kemudi justru miring ke kanan. Lalu dengan kurangnya monitoring menimbulkan asumsi pesawat berbelok ke kanan sehingga pemulihan yang dilakukan pilot tidak sesuai. 

Faktor kontribusi keenam yaitu belum adanya aturan dan panduan mengenai Upset Prevention and Recovery Training (UPRT) yang memengaruhi proses pelatihan oleh maskapai. Padahal training tersebut menurutnya dibutuhkan untuk menjamin kemampuan dan pengetahuan pilot dalam mencegah dan memulihkan kondisi upset secara efektif dan tepat waktu.

"Kecelakaan ini terjadi karena enam hal itu. Kalau salah satu faktor tidak terjadi mungkin tidak akan ada kecelakaan," ucap Nurcahyo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement