REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo berharap agar Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dapat melanjutkan pengerjaan proyek drone Elang Hitam. Pesawat udara nirawak (PUNA) ini merupakan karya anak bangsa.
Sebagai informasi, proyek ini sempat disebutkan dihentikan secara sepihak oleh BRIN. Namun, BRIN membantah informasi tersebut dan menyampaikan bahwa pengerjaan drone Elang Hitam dialihkan dari tujuan sebelumnya untuk kombatan militer menjadi tujuan sipil.
“Harapan selalu ada (pengerjaan drone Elang Hitam dilanjutkan) karena itu produk kebanggaan,” kata Fadjar usai membuka Seminar Nasional TNI AU bertema 'Tantangan TNI AU dalam Perkembangan Teknologi Elektronika Penerbangan' di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Selasa (8/11/2022).
Fadjar mengatakan, TNI AU selalu mendukung program pemerintah terkait proyek drone Elang Hitam. Bahkan, ia menyebut, pihaknya dan BRIN sudah sempat saling bertukar informasi mengenai proyek ini.
Meski demikian, Fadjar tidak dapat memastikan bagaimana kelanjutan pengerjaan drone Elang Hitam. Sebab, hal itu bukan menjadi kewenangan dirjnya.
“Kita terus mendukung program pemerintah. Kita sharing informasi dan teknologi yang memang sudah kita operasikan, itu yang dapat kita sharing kepada BRIN atau stakeholder yang lain. Tetapi kalau lanjut atau tidak bukan kewenangan kami,” jelas dia.
Sebelumnya, Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, menjelaskan tentang kelanjutan proyek pesawat udara nirawak (PUNA) Elang Hitam. Menurut dia, BRIN melakukan pemfokusan ulang program PUNA dari yang sebelumnya untuk tujuan kombatan menjadi tujuan sipil atau intelligence, surveillance, and reconnaissance (ISR).
"Informasi yang beredar tidak benar. Karena program PUNA dilakukan refocusing untuk tujuan sipil dan bukan kombatan. Ini dilakukan pascaevaluasi dan audit mendalam pascakegagalan terbang pada Desember 2021 dan berbagai masalah teknis lain terkait mitra pemilik teknologi kunci," jelas Handoko kepada Republika, Ahad (18/9/2022).
Lebih lanjut dia menjelaskan, program PUNA jenis medium altitude long endurance (MALE) untuk kombatan itu terdapat beberapa masalah teknis serta desain secara keseluruhan. Pengembangan Elang Hitam, kata dia, menggunakan komponen eksisting dari mitra luar negeri, terutama teknologi kunci berupa mission system. Tapi mitra luar negeri itu dia sebut tidak memiliki jam terbang membuat teknologi itu dalam skala besar.
"Apabila skema pengembangan ini dilanjutkan, kami membayar mitra luar negeri tersebut dan mereka memasang teknologinya di Indonesia. Namun, mereka juga tidak mau sistem teknologi kunci tersebut dibuka oleh periset BRIN. Ini sama saja BRIN memberikan anggaran untuk riset dan pengembangan mereka yang nilainya hampir Rp 120 miliar," jelas dia.
Hingga akhirnya, kata Handoko, pihaknya memutuskan riset untuk teknologi kunci harus diperkuat agar mendapatkan hak atas kepemilikan atau property rights. Hal itu dilakukan agar Indonesia tidak hanya bisa membuat teknologi, tetapi juga bisa mengembangkan riset yang kompetitif dan ada diferensiasi.
"Kami sudah melaporkan dan mendiskusikan hal ini dengan tim Menteri Koordinator Perekonomian sebagai penanggung jawab Program Strategis Nasional (PSN)," kata Handoko.
Purwarupa pertama Elang Hitam dibuat di fasilitas PTDI, Kota Bandung pada 30 Desember 2019. Selain memenuhi persyaratan kebutuhan TNI AU, Elang Hitam dibuat karena memiliki kemampuan menyerang dengan cepat, dengan menggunakan sistem kontrol dan tempur yang dikembangkan menggunakan aplikasi lokal.
Adapun drone MALE yang dirintis anak bangsa semula dirancang bisa terbang 15 ribu sampai 30 ribu kaki, lama terbang 24 jam, dipersenjatai, dapat beroperasi siang dan malam maupun di segala cuaca, dan bisa berkomunikasi dengan jarak 200 kilometer. Elang Hitam diproyeksikan bisa setara dengan MQ-1 Predator (AS), CH-4 Rainbow (China), Shahed 129 (Iran), KT Orion (Rusia), dan ANKA (Turki).