REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pangan Nasional (NFA) mencatat volume cadangan beras pemerintah (CBP) di Perum Bulog kian menipis hingga tersisa 673 ribu ton. Kendati demikian, Bulog menyatakan, situasi perberasan dalam negeri akan tetap aman sembari mengupaya penyerapan gabah petani untuk menambah pasokan CBP.
"Untuk kebutuhan rutin kami yakin ini masih bisa teratasi. Bicara cukup, ya cukup. Asalkan tidak ada isu yang membuat masyarakat panik," kata Sekretaris Perusahaan Bulog, Awaluddin Iqbal kepada Republika.co.id, Selasa (25/10/2022).
Dia menjelaskan, rerata kebutuhan operasi pasar Bulog per bulan sekitar 200 ribu ton. Dengan kata lain, Bulog memiliki ketahanan pasokan selama tiga bulan hingga Januari 2023. Sementara, pasokan akan kembali bertambah signifikan di bulan Februari seiring masuknya musim panen raya rendeng.
Pasokan beras saat ini juga masih tersedia di rumah tangga, penggilingan, pedagang, industri horeka, hingga PIBC yang diperkirakan Badan Pangan Nasional mencapai 6,8 juta ton. Adapun kebutuhan per bulan beras secara nasional sekitar 2,5 juta ton.
Kendati demikian, Awaluddin memastikan, Bulog akan terus berupaya menambah pasokan CBP sesuai target pemerintah sebesar 1,2 juta ton hingga akhir 2022. Adapun pengadaan akan dilakukan dengan skema komersial yakni membeli gabah petani dengan harga pasar. Hasil serapan itu akan dijadikan sebagai beras premium.
"Dengan cara ini kita lebih mudah, karena kita bisa menyesuaikan pasar sehingga lebih fleksibel," kata dia.
Soal dana yang disiapkan Bulog, Awaluddin tidak bisa menjelaskan detail. Hanya saja ia menyebut, perbankan telah memberikan plafon kepada Bulog untuk kebutuhan pengadaan beras.
"Artinya Bulog itu bankable dan dana untuk keperluan bisnis Bulog itu ada," katanya.
Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Ali Usman menilai, minimnya jumlah volume beras yang dimiliki Bulog saat ini merupakan dampak dari kebijakan pemerintah yang mengubah skema bantuan sosial berupa beras. Sebelum 2019, pemerintah hanya menyalurkan bantuan beras melalui Bulog sehingga stok di Bulog bisa mencapai 3 juta ton.
Namun saat ini, setelah skema diubah, di mana penyalur beras tak hanya Bulog dan penerima bantuan bebas memiliki jenis pangan, Bulog tak lagi memiliki kepastian pasar.
Itu membuat Bulog melakukan kalkulasi seberapa besar pasokan beras ideal yang perlu dikelola agar tidak memberatkan operasional perusahaan dalam mengelola stok tanpa kepastian pasar.
"Efek samping dari kebijakan bansos selama ini tidak diberikan ke lembaga stabilitator. Sudah ada, tapi tidak diberikan marketnya. Artinya, buat apa pemerintah membuat Bulog tetapi beras tidak diserap," katanya.