REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Krisis keuangan global tahun 1997 – 1999 memicu berbagai negara maju untuk bergerak cepat mencari solusi untuk memulihkan perekonomian dunia. Negara-negara yang tergabung dalam G7 (Group of Seven); Amerika Serikat, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada dan Prancis, menyimpulkan cara paling cepat untuk memulihkan perekonomian dunia adalah dengan cara berkolaborasi dengan banyak negara-negara maju lain dan negara-negara berkembang.
Ide awalnya, negara-negara menengah dan memiliki pengaruh ekonomi secara sistemik dalam perundingan global dirangkul di dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral. Di sinilah cikal bakal G20 lahir, di mana di dalam pertemuan itu melibatkan 12 negara tambahan (Meksiko, Argentina, Rusia, Afrika Selatan, Arab Saudi, Turki, Tiongkok, Korea Selatan, Indonesia dan Australia, Brasil, dan India) diluar G7 plus satu Kawasan ekonomi Uni Eropa.
Kemudian sejak 2008, G20 menghadirkan Kepala Negara dalam KTT dan pada 2010 dibentuk pula pembahasan di sektor pembangunan. Sejak saat itu G20 terdiri atas Jalur Keuangan (Finance Track) dan Jalur Sherpa (Sherpa Track). Sherpa diambil dari istilah untuk pemandu di Nepal, menggambarkan bagaimana para Sherpa G20 membuka jalan menuju KTT (Summit).
Secara kumulatif, negara-negara yang tergabung dalam G20 diperkirakan menguasai sekitar 90 persen produk domestik bruto (PDB) ekonomi dunia, 80 persen volume perdagangan dunia, dan merepresentasikan dua pertiga populasi penduduk dunia. Singkatnya, kekuatan ekonomi negara G20 mencerminkan kekuatan pasar dan arus lalu lintas perdagangan barang dan jasa terbesar di dunia
G20 merepresentasikan lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% PDB dunia. Nampaknya G20 telah diberikan peranan penting dengan diambil alihnya tugas untuk penyelesaian masalah ekonomi dan semakin berperannya negara-negara berkembang disamping negara-negara maju dalam pengambilan kebijakan di G20 yakni diperbesarnya peran negara-negara berkembang dalam badan multilateral berpengaruh seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank).
Demikian pula dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), reformasi pada lembaga-lembaga internasional itu akan segera dilakukan melihat pertemuan IMF yang telah dilaksanakan di Turki setelah KTT G20 Pittsburgh. Negara-negara maju sekarang sedang mendistribusikan persoalan ke negara-negara lain.
Beban akibat krisis keuangan global ingin juga ditanggung oleh negara-negara lain lewat perubahan peran G20. Kredibilitas peran baru G20 memang tidak bisa dilihat sekarang. Reformasi di tubuh lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia menjadi taruhan komitmen negara maju untuk melakukan sharing power.
Presidensi G20 Indonesia
Indonesia memegang tampuk kepemimpinan atau Presidensi G20 tahun 2022 ini. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika memastikan semua agenda dalam rangkaian penyelenggaraan Presidensi G20 akan berjalan lancar, hingga pertemuan puncak (KTT G20) di Bali November ini.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo Usman Kansong menegaskan kesiapan penyelenggaraan KTT G20. Keamanan, kesiapan infrastruktur, jaringan telekomunikasi, dan transportasi menjadi poin-poin penting kesiapan KTT G20.
“90 persen persiapan sudah kita siapkan. Informasi terakhir dari Menlu, semua kepala negara G20 akan hadir di Bali,” ujar Usman.
KTT G20 di Bali adalah kegiatan puncak presidensi G20 Indonesia. Berbagai kegiatan yang menjadi rangkaian acara G20 telah berlangsung sepanjang tahun 2022 ini. Rentetang kegiatan ini dikatakan Usman tentu memiliki manfaat strategis dari Presidensi G20. Potensi ini dapat diukur dari aspek ekonomi, politik luar negeri, maupun pembangunan sosial.