REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Walau Pemerintah sudah dapat menggendalikan pandemi Covid-19, tetapi kebutuhan akan vaksin masih sangat tinggi. Melihat kondisi tersebut, dr Riris Andono Ahmad, Epidemiologi Universitas Gajah Mada (UGM) menilai langkah Pemerintah Indonesia melalui Menteri BUMN Erick Thohir untuk memproduksi vaksin Covid-19 dinilai suatu langkah yang sangat tepat. Terlebih lagi saat ini banyak negara kaya yang memiliki teknologi pembuatan vaksin namun kerap tak memberikan akses kepada negara lain yang membutuhkan.
"Dengan kondisi tersebut produksi vaksin Indovac dari Biofarma menjadi sangat strategi untuk menggendalikan penyebaran Covid-19. Sehingga produksi vaksin sangat penting," kata dr Riris.
Ia mengakui memang saat ini di komunitas sudah ada imunitas. Namun belum sampai level menghentikan penularan. Fungsi produksi vaksin itu diperlukan untuk menjaga tingkat imunitas di masyarakat.
Sehingga vaksin seperti Indovac masih akan terus ada," ucap dr Riris.
Kebutuhan vaksin yang masih sangat tinggi terbilang wajar. Terlebih lagi varian baru seperti XBB sudah masuk ke Indonesia, dan masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mendapatkan vaksin booster serta masih terjadi penularan di masyarakat. Bahkan hingga saat ini program vaksinasi Covid-19 bagi anak-anak belum dilakukan.
Indonesia memiliki BUMN farmasi yang kapasitas dan kemampuan produksinya sudah diakui dunia. Bahkan Biofarma sudah mendapatkan sertifikasi dari WHO untuk memproduksi beberapa vaksin esensial bagi anak-anak maupun orang dewasa.
"Pandemi memberikan kesempatan lebih bagi Biofarma untuk berperan dalam menggembangkan vaksin. Termasuk COVID-19. Sehingga langkah Menteri Erick meminta Biofarma memproduksi vaksin Indovac sangat strategis. Kalau indonesia mau berkompetisi dikancah global, kita harus menguasai teknologi produksi obat dan vaksin," terang Riris.
Dengan Biofarma memproduksi Indovac, menurut Riris juga akan membuat Indonesia dapat mengurangi ketergantungan akan vaksin dari negara lain. Indonesia, masih kata Riris, tak bisa lepas sepenuhnya dari ketergantungan negara lain dalam produksi obat dan vaksin. Ini disebabkan banyak paten obat dan vaksin dipegang oleh negara maju dan kaya.
"Memang perintah Menteri BUMN untuk Biofarma memproduksi vaksin COVID-19 merupakan suatu tahap yang sangat penting untuk mengurangi ketergantungan Indonesia. Namun kita tidak sertamerta kita bisa bebas dari ketergantungan negara lain. Kita bisa memproduksi namun kita belum bisa memiliki teknologinya," kata Riris.
Vaksin Indovac yang kemarin diluncurkan oleh Presiden Jokowi dan Menteri BUMN dibuat menggunakan teknologi teknologi recombinant protein subunit. Teknologi tersebut dinilai Riris merupakan salah satu teknologi terbaru dalam membuat vaksin. Bukan teknologi tradisional dalam pembuatan vaksin.
Hingga kini Riris belum mengetahui mengenai efektivitas vaksin Indovac yang baru dikeluarkan Biofarma. Namun menenurut Riris efektivitas suatu vaksin dipengaruhi oleh banyak faktor. Butuh proses yang panjang dan sampel yang banyak untuk dapat mengetahui efektivitas vaksin yang dibuat oleh produsen. Selain itu efektivitas vaksin dipengaruhi oleh mutasi virus tersebut. Jika suatu lingkungan sudah memiliki imunitas, maka virus akan bermutasi.
"Jadi akan sangat sulit untuk mengatakan berapa besar efektivitas suatu vaksin. Artinya penggembangan vaksin harus terus dilakukan oleh Biofarma. Jika nantinya Indovac tidak efektif, maka penggembangan vaksin yang dilakukan Biofarma bukan tak ada gunanya. Produksi Indovac merupakan suatu keharusan agar Indonesia dapat menguasai teknologi vaksin. Justru BUMN farmasi harus unggul dalam melakukan inovasi penggembangan obat dan vaksin," kata Riris.
Namun berdasarkan informasi BPOM RI, Indovac sudah mendapatkan Emergency Use Authorization (EUA) atau Izin Penggunaan Darurat. Jika vaksin atau obat sudah meendapatkan EUA, maka sudah memenuhi prosedur cara pembuatan obat yang baik (CPOB), melalui pertimbangan terhadap aspek keamanan, efikasi/imunogenisitas dan mutu. Berdasarkan uji imuno bridging pada uji klinik fase 3 efikasi vaksin Indovac antibodi netralisasi Vaksin yang non-inferior dengan vaksin protein subunit pembanding (92,5% vs 87,09%).