Rabu 19 Oct 2022 05:45 WIB

Sorotan Jokowi kepada Polri, dari Pungli Hingga Jelimetnya Presisi

Arahan Jokowi disampaikan menyusul sejumlah kejadian 'luar biasa' di tubuh Polri.

Presiden Jokowi akan memberikan pengarahan kepada jajaran pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang meliputi pejabat utama Mabes Polri, Kapolda, dan Kapolres dari seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Jumat (14/10).
Foto:

Awalnya, Saakashvili memberikan kenaikan gaji besar kepada para aparat kepolisian, bahkan hingga 20 kali lipat, tapi hal itu tak sukses membasmi korupsi.

Ia lalu mengambil tindakan tegas dengan merumahkan 30 ribu personel polisi dan merekrut tenaga baru yang segar, diberi gaji besar, dengan syarat tidak korupsi. Kebijakan gaji, pelatihan dan personel polisi juga dirombak dan diubah secara signifikan. 

Hasilnya, warga Georgia yang semula enggan berurusan dengan polisi kini kembali mau mengadu ke polisi. Bahkan, sekadar urusan anjing atau kunci hilang, mereka pun mengadu ke polisi dan dilayani dengan ramah.

Namun memecat ribuan polisi pun belum tentu menjadi resep terbaik untuk reformasi Polri. Dibutuhkan data yang lebih rinci tentang bagaimana dan mengapa korupsi terjadi tubuh Polri, termasuk seperti apa praktiknya, karakteristik khusus apa yang dimilikinya, dan bagaimana mengidentifikasi risiko dengan lebih baik.

Jon S.T. Quah dalam bukunya berjudul "Curbing Corruption in Asian Countries: An Impossible Dream?" berpendapat korupsi hanya dapat diminimalkan di suatu negara jika langkah-langkah komprehensif dimulai untuk memperbaiki berbagai penyebab timbulnya perilaku korupsi.

Misalnya, meskipun peningkatan gaji polisi dapat mengurangi korupsi kecil di kalangan polisi junior, tapi hal itu tidak menghilangkan korupsi besar di pejabat kepolisian. Kenaikan gaji juga tak menyelesaikan masalah korupsi jika tidak ada kemauan politik dari pemerintah yang berkuasa, lembaga antikorupsi tidak efektif, pejabat korup tidak dihukum dan peluang untuk korupsi tidak dikurangi (Quah 2007).

Selain itu, pengendalian korupsi tidak mungkin berhasil tanpa perhatian yang signifikan juga diberikan pada pengawasan dan tata kelola eksternal (Transparency International 2012).

 

Bila ternyata media sosial saat ini menjadi "media" yang efektif untuk pengawasan personil Polri, namun letupan-letupan di media sosial tidak cukup untuk menghasilkan reformasi yang terstruktur di tubuh Polri. Kombinasi antara keinginan politik pemerintah, respons untuk perbaikan diri di internal Polri dan pengawasan eksternal dari masyarakat yang terus-menerus bisa jadi merupakan jawaban sederhana menuju reformasi Polri.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement