Ahad 09 Oct 2022 14:33 WIB

Bertemu Airlangga, Pengamat: Ada Relasi Rasional Golkar dan PDIP

Penjajakan politik yang dilakukan PDIP bisa berpengaruh pada dinamika koalisi.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agus raharjo
Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Bidang Politik dan Keamanan PDI Perjuangan Puan Maharani (kanan) bersama Ketua Umum Partai Golongan Karya AIrlangga Hartarto (kiri) berbincang saat jalan santai di Monas, Jakarta, Sabtu (8/10/2022). Kegiatan jalan santai tersebut merupakan silaturahmi dan konsolidasi politik menjelang pemilu 2024.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Bidang Politik dan Keamanan PDI Perjuangan Puan Maharani (kanan) bersama Ketua Umum Partai Golongan Karya AIrlangga Hartarto (kiri) berbincang saat jalan santai di Monas, Jakarta, Sabtu (8/10/2022). Kegiatan jalan santai tersebut merupakan silaturahmi dan konsolidasi politik menjelang pemilu 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto bertemu dengan Puan Maharani, Sabtu (8/10/2022) pagi. Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis (TPS), Agung Baskoro mengatakan pertemuan yang didahului dengan berolahraga bersama ini, berlangsung setelah Puan bertemu dengan Nasdem, Gerindra, dan PKB.

Menurutnya, dari situasi tersebut setidaknya bisa dideskripsikan bagaimana objektif dan rasionalnya relasi antara Golkar dengan PDIP selama ini. "Fakta historik membuktikan saat petahana tak bisa maju lagi dalam kontestasi (open election) pasca reformasi, PDIP dan Golkar kerap berseberangan. Namun setelah berkompetisi, Golkar senantiasa merapat kepada kekuasaan baik dalam konteks Demokrat (2004-2014) maupun PDIP (2014-2024)," jelas Agung, Ahad (9/10/2022).

Baca Juga

Menurut dia, realitas politik tersebut sepertinya tidak menutup kemungkinan berulang saat ini. Ketika jelang Pilpres 2024 di mana Golkar telah merajut Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama PAN dan PPP. Sementara PDIP baru intensif melakukan silaturahim politik lintas partai sebagai mandat rakernas sebelum memutuskan berkoalisi dengan kubu manapun.

Latar politik yang berbeda dari Golkar dan PDIP ini mengemuka, disebabkan hanya PDIP yang mampu memenuhi presidential threshold. Sedangkan Golkar mesti mencari satu atau dua partai agar bisa masuk ke arena pilpres. Realitas politik ini mau tak mau membuat nalar politik Golkar mengharuskan lebih awal berinisiatif politik.

Tujuannya agar Airlangga sebagai Ketum tak memiliki beban besar setelah partai berlambang beringin ini ‘memastikan’ tiket dengan terbentuknya KIB sebagai koalisi prapilpres. Ini sangat penting, agar posisi tawar politik Golkar semakin strategis ketika berhadapan dengan partai atau koalisi manapun termasuk PDIP.

Di sisi yang lain, PDIP juga memiliki tantangan politik dengan kelebihan sekaligus kekurangan yang dimiliki saat telah mampu memenuhi ambang batas elektoral tadi. Karena bila ingin menang pemilu tiga kali berturut-turut (hattrick), maka mesti berkoalisi, agar ceruk massa yang berpartisipasi memilih semakin luas.

"Sementara calon-calon yang diusung baik capres maupun cawapres haruslah memiliki elektabilitas yang mumpuni," ujarnya.

Diakui dia, penjajakan politik PDIP pasca-Rakernas melalui Puan harus diakui memengaruhi dinamika koalisi yang sudah terbentuk. Khususnya dalam konteks KIB dan Koalisi Indonesia Raya (KIR), menimbang Poros Gondangdia (PG) yang digalang Nasdem bersama Demokrat dan PKS, lebih identik sebagai kubu yang berseberangan dengan pemerintah sekarang.

"Pertanyaan mendasar akhirnya mengemuka, kemanakah PDIP akan berlabuh, KIB? KIR? atau membuat koalisi baru?," sebut Agung.

Menurutnya, pertama, bisa jadi skema PDIP masuk KIB. Peluangnya membesar ketika Golkar, PAN, PPP, dan PDIP, tak mengusung jagoannya sebagai harga mati baik sebagai capres maupun cawapres. Apalagi elektabilitas Airlangga dan Puan belum memadai untuk berhadapan langsung seandainya pencalonan Prabowo dan Anies sebagai capres berlangsung mulus.

Artinya, pilihan antara Airlangga atau Puan paling maksimal sebagai cawapres, itupun baik Airlangga atau Puan harus legawa bila tak terpilih mewakili KIB karena figur capresnya dari eksternal KIB yang memiliki elektabilitas.

Kedua, lanjut dia, bila skema PDIP masuk KIR hanya mungkin bila PKB bersedia memberikan jatah cawapres kepada Puan. Hal itu menimbang Prabowo sebagai Ketua Umum Gerindra sekaligus koordinator KIR telah solid dipilih sebagai capres.

"Pertanyaan fundamentalnya mengemuka, apakah Cak Imin bersedia? Atau Prabowo rela kehilangan ceruk massa Nahdliyin yang dibawa PKB," tegasnya.

Ketiga, ada hal yang paling rasional bagi PDIP sementara ini. Yaitu, Puan membuat koalisi baru, dengan menarik salah satu anggota KIB atau KIR yang mampu merepresentasikan Islam khususnya NU, baik itu PKB atau PPP. Ini sebagaimana Presiden Jokowi sukses terpilih saat mengusung Jusuf Kalla dan Ma’ruf Amin demi melengkapi basis massa nasionalisnya.

Dari kalkulasi politik di atas, Agung menilai, posisi tawar PKB dan PPP semakin krusial. Karena dua partai itu, dianggap yang paling dibutuhkan PDIP untuk melengkapi warna politiknya saat ingin berkoalisi sekaligus memenangkan pilpres.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement