REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis Politik sekaligus CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menilai, keputusan Partai Nasdem mendeklarasikan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sebagai calon presiden (capres) pada Pilpres 2024 mendatang merupakan langkah berani. Menurutnya, deklarasi dukungan tersebut berpotensi membuat Partai Nasdem ditinggal pemilihnya.
Dalam konteks basis akar rumput (grassroot), pada Pangi, ada yang punya pandangan bahwa ketika Nasdem mengusung Anies, maka basis akar rumput Nasdem akan melemah. Dan Nasdem, ucap dia, berpotensi ditinggal pemilihnya sendiri karena terjadinya split ticket voting.
"Hal ini terjadi karena ketidaksesuaian antara pilihan elite dan suara akar rumput," kata Pangi kepada kepada wartawan, Kamis (6/10/2022).
Dia menjelaskan, perilaku pemilih Nasdem ini setidaknya bisa dilihat dari beberapa hasil survei. Dalam hasil survei Voxpol Center bulan Juli lalu, Pangi mengungkapkan, pemilih Partai Nasdem untuk Indonesia Timur seperti Papua, NTT, Manado lebih signifikan memilih Ganjar sebesar 78,8 persen, Anies sebesar 36,7 persen. Sebaliknya, Anies Baswedan justru unggul di DKI Jakata 81,3 persen, Jawa Barat, dan Banten.
"Ada potensi Nasdem melakukan penetrasi melebarkan wilayah basis pemilihnya, betulkah pemilih partai akan migrasi memilih Nasdem apabila nantinya terbukti pengaruh Anies effect menguat?" ucapnya.
Dia meyakini, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, sudah mengalkulasi secara matematika politik, mengkaji secara terukur, terkait keputusan untuk mengusung Anies sebagai capres. Nasdem tinggal menyakinkan Partai Demokrat dan PKS, apakah nanti salah satu dari kader Demokrat dan PKS menjadi cawapres pasangan Anies. Atau nanti koalisi yang dibangun klik pada 'persamaan kepentingan'.
Misalnya ,koalisi bersyarat Partai Demokrat, siap bergabung berkoalisi mengusung Anies dengan syarat membawa nama kandidasi AHY sebagai cawapres pasangan Anies. Dan begitu juga PKS, misalnya, klik pada persamaan kepentingan dengan tawaran yang lebih menarik meminta jatah menteri yang lebih banyak karena tidak memaksakan memasang kadernya untuk diajaukan sebagai capres dan cawapres, dan itu sah-sah saja.
"Partai ikut kontestasi pemilu, kemudian ketika menang, “power sharing” mengambil alih kekuasaan lewat kursi menteri," ujarnya.