REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Antreas Santosa mengatakan bahwa kondisi pangan di dalam negeri cukup rawan. Dia juga memprediksi bahwa harga beras akan melonjak tinggi dalam lima bulan ke depan.
Menurut Dwi, lonjakan ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara tingkat produksi dan konsumsi masyarakat. Namun demikian, tidak serta merta impor beras menjadi jawaban sebagaimana yang digaungkan pemerintah.
Menurutnya akan sangat memalukan jika Indonesia harus impor beras, padahal dua bulan lalu baru saja menerima penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI).
“Akan amat menyakitkan sedulur tani, ini jadi mempertanyakan makna sesunguhnya dari IRRI ini,” kata Dwi dalam diskusi daring Trijaya FM, Sabtu (1/10/2022).
Berdasarkan data resmi, ujar Dwi, dalam tiga tahun terakhir ini produksi padi dalam negeri justru mengalami penurunan 2,7 persen per tahunnya. Pada 2019, produksi padi turun 7,7 persen, kemudian pada 2020 naik sangat kecil 0,09 persen, dan 2021 turun lagi 0,42 persen. “Lalu apa makna semua penghargaan tersebut?” ujar dia.
Bahkan lanjut dia, pada 2020 sampai saat ini Indonesia sedang mengalami fenomena La Nina atau iklim kemarau basah. Di mana sepanjang sejarah Indonesia, produksi padi selama 20 tahun terakhir ketika berhadapan dengan fenomena La Nina maka produksi padi akan meningkatkan cukup tajam.
“Kenaikan tahun 2007 sebesar 4,7 persen, 2016 sebesar 9,6 persen. Lah kok kita tahun 2020 hanya naik 0,09 persen? Bahkan 2021 yang masih La Nina malah turun. Ini kita celaka 12,” ujar Dwi.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Itu lantas mempertanyakan ada apa dengan fenomena La Nina saat ini yang seharusnya bisa menaikkan produksi gabah dan beras. Ternyata kata dia, hal ini terjadi karena petani yang enggan merugi.
“Petani ini realistis, dalam arti ketika petani menanam padi dan tidak menguntungkan maka akan ditinggalkan. Ketika ditinggalkan lahan tersebut, biasanya dilepas ke pemodal karena tidak lagi menguntungkan,” kata Dwi.
Menurutnya, pemerintah harus menaikkan harga beli pemerintah (HPP) gabah dan beras dari para petani Indonesia. Hal ini dapat membantu petani untuk bisa survive kembali dan bersemangat kembali untuk bercocok tanam. Karena HPP saat ini Rp 4.200 per kilogram padahal biaya produksi untuk padi itu sebesar Rp 5.876 per kilogram.
Dwi menambahkan, bahwa cadangan beras Bulog pemerintah hanya 800 ribu ton. Jika hal ini dibiarkan maka akan sangat berbahaya, karena cadangan terendah seharusnya 1,5 juta ton beras.
“Hati-hati, ini masuk ambang bahaya. Ini masuk Oktober masih ada November, Desember, Januari, 5 bulan masa paceklik. Maksud saya antara produksi dan konsumsi jomplang. Jadi produksi jauh lebih rendah, sehingga harga beras di tingkat konsumen akan naik sangat tinggi di lima bulan, ini berpotensi menggoncang politik nasional kita,” ujarnya.