Sabtu 01 Oct 2022 19:01 WIB

Sembilan Mantan Hakim MK: Copot Hakim Konstitusi Aswanto, DPR Melanggar UUD

DPR tidak punya kewenangan mencopot hakim konstitusi yang sedang menjabat.

Rep: Febryan A/ Red: Teguh Firmansyah
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie (tengah) bersama Hamdan Zoelva (kanan) dan Mantan Hakim MK Maruarar Siahaan memberikan keterangan pers usai melakukan pertemuan dengan Sekjen MK di Jakarta, Sabtu (1/10/2022). Pertemuan para mantan Hakim dan Ketua MK yang berlangsung tertutup tersebut membahas keputusan DPR yang memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto dan digantikan dengan Sekjen MK Guntur Hamzah secara sepihak yang dinilai merusak demokrasi. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie (tengah) bersama Hamdan Zoelva (kanan) dan Mantan Hakim MK Maruarar Siahaan memberikan keterangan pers usai melakukan pertemuan dengan Sekjen MK di Jakarta, Sabtu (1/10/2022). Pertemuan para mantan Hakim dan Ketua MK yang berlangsung tertutup tersebut membahas keputusan DPR yang memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto dan digantikan dengan Sekjen MK Guntur Hamzah secara sepihak yang dinilai merusak demokrasi. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sembilan mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk di antaranya tiga mantan ketua MK, bergerak cepat merespons pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto oleh DPR. Usai berkumpul, mereka kompak menyatakan pencopotan itu melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Sembilan mantan hakim konstitusi itu berkumpul sekaligus bertemu dengan Sekretaris Jenderal MK Muhammad Guntur Hamzah di Kantor MK, Jakarta, Sabtu (1/10). Terdapat empat hakim yang hadir secara langsung di gedung MK, yakni mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva, dan Maruarar Siahaan. Hadir pula, mantan Ketua MK Mahfud MD yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.

Baca Juga

Sedangkan lima mantan hakim konstitusi lainnya hadir secara virtual dalam pertemuan tersebut. Kelimanya adalah Mohammad Laica Marzuki, Harjono, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, dan I Dewa Gede Palguna.

Usai pertemuan tersebut digelar, Jimly Asshiddiqie menyampaikan bahwa pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto melanggar UUD 1945. Sebab, DPR tidak punya kewenangan mencopot hakim konstitusi yang sedang menjabat.

Jimly menjelaskan, UUD 1945 mengatur bahwa DPR hanya bisa mengajukan hakim konstitusi baru. UUD 1945 tidak memberikan kewenangan kepada DPR untuk mencopot seorang hakim konstitusi yang sedang menjabat. "Jadi kesimpulan kami pertama, ini (pencopotan Aswanto oleh DPR) jelas melanggar UUD 1945," kata Jimly kepada wartawan.

Jimly menambahkan, keputusan DPR itu juga melanggar Undang-Undang (UU) MK, tepatnya Pasal 23 ayat 4. "Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi," demikian bunyi pasal tersebut.

Adapun ketika DPR melakukan pencopotan, ujar Jimly, MK belum menyerahkan surat permohonan pemberhentian Aswanto kepada Presiden. "Jadi kalau tidak ada surat dari MK, hakim konstitusi tidak bisa diberhentikan," kata Jimly menegaskan.

Lantaran Presiden tidak memberhentikan Aswanto, lanjut dia, tentu tidak ada kekosongan jabatan hakim konstitusi. Karena itu pula, MK tidak pernah mengirim surat permohonan pengisian hakim konstitusi baru ke DPR. Oleh karenanya, DPR tidak punya dasar untuk menunjuk hakim konstitusi baru pengganti Aswanto.

 
Melanggar formil dan materiil

Mantan Ketua MK lainnya, Hamdan Zoelva menambahkan, pencopotan Aswanto oleh DPR tidak hanya melanggar UU MK dari aspek formil, tapi juga materiil. Dia mengatakan, UU MK mengatur jabatan hakim konstitusi sampai umur 70 tahun.

Jika diberhentikan sebelum usia 70 tahun, kata Hamdan, harus karena meninggal dunia, mengundurkan diri, atau karena pelanggaran hukum dan etik. Sejumlah syarat pemberhentian itu tidak satu pun ada pada Aswanto. "Karena itu, kami melihat, baik dari aspek prosedur maupun materil, pemberhentian itu bertentangan dengan UU," kata Hamdan menegaskan.

Lantaran pencopotan tersebut melanggar UUD 1945 dan UU MK, para mantan hakim konstitusi ini sepakat menyarankan Presiden Jokowi untuk tidak menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) pencopotan Aswanto. Solusi ini, kata Maruarar, turut disetujui oleh Mahfud Md.

"Kita menyarankan melalui Pak Mahfud agar Presiden tidak usah dulu menandatangani Keppres tentang pemberhentian itu," kata Maruarar sembari mengingatkan bahwa ada implikasi yang luas jika presiden tetap meneken Kepres pemberhentian Aswanto.

Sebelumnya, Kamis (29/9), Rapat Paripurna DPR RI menyetujui pencopotan Aswanto sebagai Hakim Konstitusi yang berasal dari usulan DPR. Padahal, jabatan Aswanto baru akan berakhir pada tahun 2029. Sebagai ganti Aswanto, DPR menunjuk Sekretaris Jenderal MK Muhammad Guntur Hamzah.

Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto mengatakan, Aswanto dicopot karena kerap menganulir undang-undang yang disahkan oleh DPR. Politisi PDIP itu menilai Aswanto tidak menepati komitmennya dengan DPR.  "Tentu mengecewakan dong. Ya, gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia? Dia wakilnya dari DPR, kan gitu toh," kata Bambang kepada wartawan, Jumat (30/9).

"Kalau kamu usulkan seseorang untuk jadi direksi di perusahaanmu, kamu sebagai owner, itu mewakili owner kemudian kebijakanmu nggak sesuai direksi, owner, ya, gimana. Gitu toh. Kan kita dibikin susah," jelas Bambang dengan mengumpamakan MK seperti perusahaan swasta.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement