Ahad 25 Sep 2022 19:26 WIB

OTT Hakim Agung, Guru Besar Unkris Prof Gayus Lumbuun: Momentum Benahi MA Secara Nyata

Jokowi perlu turun tangan karena hakim agung diangkat lewat surat keputusan presiden.

Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof Dr Gayus Lumbuun.
Foto: Dok. Unkris
Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof Dr Gayus Lumbuun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peristiwa operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Hakim Agung Sudrajad Dimyati menjadi momentum untuk segera melakukan pembenahan konkret di tubuh Mahkamah Agung (MA). Menurut Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof Dr Gayus Lumbuun, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sebagai kepala negara harus bertindak tegas terhadap peristiwa OTT hakim agung karena peristiwa ini tak hanya menggemparkan masyarakat dalam negeri, tetapi juga masyarakat internasional.

"Mahkamah Agung adalah benteng pencari keadilan terakhir. Peristiwa OTT hakim agung mengindikasikan bahwa benteng pencari keadilan terakhir nyaris runtuh," kata Prof Gayus Lumbuun dalam pernyataan persnya, Ahad (25/9/2022).

Baca Juga

Karena itu, menurut Prof Gayus, Presiden Jokowi perlu turun tangan karena seorang hakim agung diangkat melalui surat keputusan presiden.

Sejak masih menjabat sebagai hakim agung, Prof Gayus mengaku sudah sering mengungkapkan tentang perlunya segera melakukan evaluasi pimpinan-pimpinan pengadilan mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga MA. Di pengadilan negeri tercatat ada sekitar 700 orang yang menjabat sebagai ketua dan wakil ketua, di pengadilan tinggi terdapat 70 orang yang menjabat ketua dan wakil ketua. Sedang di MA terdapat 10 pejabat penting.

Evaluasi yang dimaksud adalah mempertahankan pejabat yang baik dan mengganti orang-orang yang memiliki kinerja buruk. "Soal evaluasi ini sudah sering saya sampaikan secara terbuka pada beberapa forum," jelas Prof Gayus.

Jumlah pejabat tersebut, kata Prof Gayus, tidaklah banyak sehingga bisa dilakukan segera sebagai upaya mengembalikan kepercayaan publik dan kepercayaan dunia terhadap lembaga hukum di Indonesia pasca-ditangkapnya hakim agung oleh KPK.

Prof Gayus mengakui secara kenyataan, banyak hakim, aparatur pengadilan, panitera, dan lainnya yang tersangkut tindak pidana korupsi bahkan ada ketua pengadilan tinggi. MA sendiri pernah menerbitkan Maklumat Nomor 1 tahun 2017 yang berisi sanksi tegas berjenjang dari yang melakukan tindak pidana sampai dengan atasannya. Namun maklumat tersebut tidak pernah dilakukan. "Harapan terakhir hanya kepada ketegasan Presiden yang bertanggung jawab terhadap SK Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung," katanya.

Lebih lanjut Prof Gayus mengingatkan bahwa masalah korupsi penegak hukum sudah dalam kondisi darurat luar biasa. Pasalnya, korupsi ini tidak hanya pernah terjadi di lingkup MA, tetapi juga terjadi di Kejaksanaan Agung dan Mabes Polri.

Prof Gayus saat menjabat sebagai hakim agung (2011-2018) pernah bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Negara pada 11 Oktober 2016. Pada pertemuan empat mata tersebut, Presiden Jokowi meminta masukan dari Prof Gayus terkait Paket Reformasi Hukum.

Prof Gayus merupakan hakim agung yang terkenal dengan putusan-putusan tegasnya, terutama vonis mati bagi para pembunuh berantai. Saat itu ia menilai reformasi di bidang hukum memang menjadi kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi pemerintah. Apalagi, reformasi hukum sesuai dengan nawacita Presiden Jokowi.

Dalam perumusan Paket Reformasi Hukum, Prof Gayus menjadi satu-satunya hakim atau hakim agung aktif yang diundang Presiden Jokowi membahas masalah bangsa di bidang hukum. Salah satu masukan yang diberikan juga soal adanya cacat syarat lima hakim agung. Presiden mencatat seluruh masukan tersebut.

Prof Gayus berharap OTT terhadap hakim agung ini merupakan yang pertama kali dan menjadi OTT terakhir. "Peristiwa ini sekaligus menjadi blessing in disguise, walaupun kita merasakan prihatin, sedih, dan kecewa, tetapi hal ini merupakan jawaban yang selama ini hanya diramaikan tetapi sulit dibuktikan,” tegas dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement