Kamis 22 Sep 2022 15:39 WIB

ICW Desak KPK Jemput Paksa Lukas Enembe Jika Terus Mangkir Pemeriksaan

Upaya penjemputan paksa itu sejalan dengan Pasal 50 ayat (1) KUHAP.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Andi Nur Aminah
Gubernur Papua Lukas Enembe
Foto: ANTARA/Nova Wahyudi
Gubernur Papua Lukas Enembe

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, sudah selayaknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penjemputan paksa terhadap Gubernur Papua, Lukas Enembe terkait dugaan rasuah. Hal ini dapat dilakukan jika Lukas terus-menerus mangkir dari panggilan pemeriksaan lembaga antirasuah tersebut.

"ICW mendesak agar KPK bersikap tegas terhadap permasalahan hukum Lukas Enembe, misalnya, mengambil tindakan berupa penjemputan paksa," kata Peneliti dari ICW, Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis resminya di Jakarta, Kamis (22/9/2022).

Baca Juga

Kurnia mengatakan, upaya penjemputan paksa itu pun sejalan dengan Pasal 50 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa tersangka berhak mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum. Selain itu, Kurnia menyebut, opsi lain yang juga mungkin bisa dilakukan oleh KPK adalah menangkap dan menahan Lukas. Dia menuturkan, Pasal 17 KUHAP mensyaratkan dua hal kepada aparat penegak hukum yang ingin melakukan penangkapan, yakni perkara sudah naik ke tahap penyidikan dan status orang tersebut sebagai tersangka. 

"Bahkan, jika kemudian Lukas ditangkap, KPK pun dapat langsung melakukan penahanan seperti diatur dalam Pasal 21 KUHAP dengan alasan-alasan tertentu. Misalnya, kekhawatiran tersangka akan melarikan diri. Dengan itu diyakini proses hukum terhadap Lukas dapat berjalan lancar dan siap untuk segera disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi," jelasnya.

Disamping itu, ICW juga meminta Partai Demokrat agar tidak membela Lukas yang merupakan kadernya. Partai Demokrat diharapkan untuk memberi dukungan kepada KPK dalam mengungkap kasus ini.

"Partai Demokrat (didesak) mendukung sepenuhnya langkah KPK dalam upaya pemberantasan korupsi, khususnya menyangkut penyidikan terhadap Lukas Enembe," ujarnya.

Kurnia menambahkan, ICW pun berharap agar Lukas dapat bersikap kooperatif dalam pengusutan kasus ini. Lukas diharapkan bisa segera memberikan keterangan kepada penyidik KPK.

Seperti diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa telah mengirimkan surat panggilan pemeriksaan kedua bagi Gubernur Papua, Lukas Enembe. Dia bakal diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pada Senin (26/9/2022) mendatang.

Adapun sebelumnya KPK juga sudah memanggil Lukas untuk diperiksa sebagai saksi pada tanggal 12 September 2022 lalu. Namun, Lukas mengkonfirmasi tidak dapat hadir. "Informasi yang kami peroleh, benar surat panggilan sebagai tersangka sudah dikirimkan tim penyidik KPK. Pemeriksaan diagendakan Senin, 26 September 2022 di Gedung Merah Putih KPK," kata Juru Bicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (22/9/2022).

Ali mengatakan, KPK berharap agar pihak Lukas dapat memenuhi panggilan pemeriksaan tersebut. Sehingga dapat memberikan keterangan kepada penyidik terkait kasus yang menjeratnya. "Kami berharap tersangka dan PH-nya kooperatif hadir karena ini merupakan kesempatan untuk dapat menjelaskan langsung dihadapan tim penyidik KPK," tutur Ali.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengungkap, dugaan korupsi Gubernur Papua Lukas Enembe tidak hanya berupa gratifikasi bernilai Rp 1 miliar. Dugaan korupsinya mencapai ratusan miliar rupiah.

Dugaan tersebut, lanjut Mahfud, ditemukan dalam 12 hasil analisis yang disampaikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di samping itu, lanjut Mahfud, PPATK saat juga sudah memblokir atau membekukan rekening Enembe sebesar Rp 71 miliar. Ia menambahkan ada pula kasus korupsi lainnya yang diduga terkait dengan kasus Enembe ini, seperti tentang dana operasional pimpinan, pengelolaan PON, dan pencucian uang.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement