REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat dampak perubahan iklim pada skala lokal telah menyebabkan beragam fenomena bencana hidrometeorologi.
Pelaksana tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dalam Disaster Briefing yang diikuti di Jakarta, Senin (19/9/2022), menjelaskan sejak akhir 2019 atau awal 2020 La Nina, Indonesia mengalami intensitas hujan dan frekuensi hujan yang lebih tinggi sehingga menyebabkan beberapa wilayah yang dulunya memiliki hari tanpa hujan lebih lama, menjadi lebih singkat.
Faktor lingkungan pun turut menyumbang anomali tersebut, dengan banyaknya alih fungsi lahan, sehingga serapan karbon yang menyebabkan suhu secara global mulai naik.
Abdul mengatakan dalam skala lokal, akan dirasakan dampaknya pada 10-15 tahun mendatang. Contohnya banjir yang terjadi di Kabupaten Sintang dan Kabupaten Katingan selama dua tahun berturut-turut.
Jika ditarik ke belakang, dalam 10 tahun terakhir dua wilayah tersebut malah sangat jarang terjadi banjir. Perubahan iklim menyebabkan frekuensi kejadian banjir di dua kabupaten tersebut semakin sering dan meluas.
Selain itu, dampak perubahan iklim juga menyebabkan kejadian banjir dan karhutla terjadi pada waktu yang bersamaan. Abdul menyoroti Provinsi Aceh, Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Seperti misalnya di Kabupaten Sintang saat dilaporkan terjadi banjir, di saat yang bersamaan sisi lain wilayah tersebut terjadi kebakaran. Begitu juga terjadi pada Kabupaten Katingan.
"Dua fenomena yang berlawanan, air dan panas, air dan api, itu terjadi pada saat bersamaan dalam lokasi yang tidak terlalu jauh ya. Saya menyebutnya ini adalah dampak dari perubahan iklim pada skala lokal," ujar dia.
Abdul mengatakan fenomena bencana, dampak dari perubahan iklim dalam tiga tahun ke belakang ini telah menjadi perhatian BNPB dan segenap pemangku kepentingan di daerah.