Selasa 20 Sep 2022 14:32 WIB

Respons Normatif Komnas HAM Soal Pencarian Salinan Dokumen TPF Munir

Selama ini, kasus Munir hanya diproses sebagai kasus pembunuhan biasa. 

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tak kunjung mengumumkan personel lengkap Tim Ad Hoc penyelidikan pelanggaran HAM berat pembunuhan Munir Said Thalib. Komnas HAM pun menjawab normatif soal keberadaan salinan dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Munir. 

TPF Munir pada 2005 menyimpulkan kasus tersebut sebagai pelanggaran HAM berupa extra judicial killing atau pembunuhan yang dilakukan oleh aktor negara tanpa melalui proses hukum. Kesimpulan TPF tersebut tak pernah sekalipun dibawa ke paripurna internal di Komnas HAM untuk pembentukan tim penyelidikan adhoc. 

Bahkan salinan dokumen TPF masih dipertanyakan keberadaannya. Komnas HAM hanya menegaskan, bakal melakukan segala cara yang dibutuhkan dalam penyelidikan itu. 

"Tentu semua hal yang terkait pengumpulan data dan fakta akan dilakukan," kata Ketua Komnas HAM sekaligus anggota tim Adhoc Munir, Ahmad Taufan Damanik kepada Republika, Selasa (20/9). 

Taufan enggan mengonfirmasi apakah tim Adhoc berencana meminta salinan dokumen TPF Munir ke Pemerintah. Dia masih merahasikan langkah penyelidikan. 

"Ini pro justisia, saya tidak bisa beberkan secara detil langkahnya. Berbeda dengan pemantauan dengan UU 39 tahun 1999 dimana kami bisa terbuka," ujar Taufan. 

Taufan juga belum bisa memastikan pengumuman resmi komposisi tim Adhoc Munir bentukkan Komnas HAM. Namun, dia menjamin, tim akan mulai bekerja pada pekan depan. 

"Yang penting mulai Minggu depan sudah mulai bekerja, tanggal 22 SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) akan disampaikan ke Jaksa Agung," ucap Taufan. 

Tim Adhoc rencananya terdiri dari dua perwakilan Komnas HAM dan tiga dari unsur masyarakat sipil. Awalnya, tim Adhoc mencatut nama mantan sekretaris TPF kasus Munir sekaligus Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid sebagai salah satu anggota dari unsur masyarakat sipil. Namun Usman menolak bergabung dalam tim itu. 

Hingga saat ini, Taufan enggan menginformasikan siapa saja perwakilan masyarakat sipil yang akan dilibatkan dalam tim itu. "Nanti akan ada yang bergabung, tunggu saja lah," kata Taufan. 

Diketahui, kematian Munir menyeret pilot Garuda, Pollycarpus. Pollycarpus dinyatakan sebagai pelaku pembunuhan dengan memasukkan racun arsenik pada tubuh Munir. 

Pollycarpus sempat dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Namun, setelah memohon peninjauan kembali, hukumannya menjadi 14 tahun penjara. Pada November 2014, Pollycarpus bebas bersyarat dan dinyatakan bebas murni pada Agustus 2018.

Selama ini, kasus Munir hanya diproses sebagai kasus pembunuhan biasa. Berdasarkan pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), masa kadaluarsa suatu kejahatan dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup mempunyai tenggang waktu selama 18 tahun. Apabila sudah terlewat 18 tahun, maka aparat penegak hukum tidak bisa lagi melakukan proses hukum. Dengan demikian, tahun ini kasus Munir berpeluang menjadi kedaluarsa. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement