Selasa 13 Sep 2022 16:42 WIB

Kasasi KM 50: Kecewa Jaksa dan yang Dikhawatirkan dari Putusan MA

MA telah resmi menolak kasasi jaksa dalam perkara pembunuhan enam laskar FPI.

Suasana sidang tuntutan terkait dugaan unlawful killing atau pembunuhan diluar proses hukum kepada laskar FPI yang digelar secara daring di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (22/2/2022). Kasasi yang diajukan jaksa dalam perkara ini telah ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). (ilustrasi)
Foto:

Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat Chandra Purna Irawan mengkhawatirkan dampak dari putusan itu terhadap penegakkan hukum. Chandra menduga putusan dalam kasus tersebut seolah bisa menjadi acuan ketika aparat ingin menembak seseorang. Nantinya, penembakan itu bisa dilegalkan dengan dalih membela diri secara darurat. 

"Bahwa saya khawatir putusan Mahkamah Agung tersebut dijadikan legitimasi oleh siapapun tidak terkecuali aparat bersenjata untuk melakukan tindakan pembunuhan dengan alasan 'pembelaan darurat yang melampaui batas'," kata Chandra kepada Republika, Selasa (13/9/2022). 

Chandra menegaskan terdapat batasan yang sangat jelas dalam penggunaan dalil “pembelaan darurat yang melampaui batas” atau noodweer excess. Dalil itu dapat dilakukan dengan syarat memenuhi unsur yaitu, "Harus ada serangan dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga".

Contohnya saat seorang pembegal tiba-tiba menyerang polisi dengan celurit atau senjata tajam. Sehingga, dalam kondisi darurat dapat memungkinkan untuk menembak. 

 

"Tapi, jika si pembegal telah tertangkap, maka polisi tersebut tidak boleh memukuli, menganiaya, menyiksa dan menembak mati karena pada waktu itu sudah tidak ada serangan mendadak dari pihak pembegal," ujar Chandra. 

Chandra menyebut, dalam kasus KM 50 apabila enam laskar FPI tersebut telah ditangkap dan meminta ampun maka mestinya tak perlu ditembak. Apalagi misalnya mereka tidak mengetahui yang mengejar adalah aparat, maka dalam situasi tersebut aparat dilarang melakukan tindakan pembelaan diri yang melampaui batas dengan menganiaya hingga menembak. 

"Kenapa? Karena unsur atau syarat serangan '...mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga' tidak terpenuhi, sehingga mestinya mengedepankan proses hukum terhadap santri tersebut seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan pidana yang belaku," ujar Chandra. 

Chandra menegaskan proses hukum tersebut merupakan cerminan dari asas praduga tak bersalah. Hal ini sekaligus memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan secara adil dan berimbang. 

 

"Saya khawatir vonis tersebut membuat masyarakat tidak percaya (distrust) terhadap hukum, dan khawatir menimbulkan pembangkangan publik," ungkap Chandra.

Wasekjen Persaudaraan Alumni (PA) 212 Novel Bamukmin menilai, putusan MA lahir lantaran sendi-sendi hukum di Tanah Air sudah mengalami kerusakan.

"Sehingga upaya hukum sudah rusak, menghancurkan keadilan," kata Novel kepada Republika, Selasa.

Novel mengungkapkan, pihak keluarga korban kasus KM 50 sejak awal tidak mau terlibat dalam proses hukum. Sebab, menurutnya pihak keluarga sudah tak percaya dengan penegakan hukum.

"Pengadilan dagelan dan terbukti semuanya dibuka oleh Allah," ujar Novel.

Di sisi lain, Novel juga pesimis dengan pernyataan Kapolri soal membuka kembali kasus KM 50 bila ada bukti baru. Namun menurutnya pernyataan itu sebenarnya instruksi melenyapkan barang bukti kasus tersebut. 

"Sebenarnya apa yang disampaikan Kapolri untuk siap kembali membuka kasus KM 50 jika ditemukan novum baru nah dengan kata-kata ini sebenarnya bisa ditafsirkan sebagai instruksi menghilangkan novum karena novum itu ada di kepolisian berupa CCTV yang dihilangkan satgasus merah putih," ucap Novel.

 

photo
Infografis FPI Terus Diburu - (republika/mgrol100)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement