REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Rizky Suryarandika
Perkara pembunuhan terhadap enam laskar FPI akhirnya menemukan ujungnya setelah Mahkamah Agung (MA) resmi menolak upaya kasasi dari jaksa penuntut umum (JPU) atas vonis lepas terhadap dua terdakwa oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Dalam kasus unlawful killing terhadap enam anggota Laskar FPI pada 2020, dua terdakwa, anggota Resmob Polda Metro Jaya, dituntut 6 tahun penjara. JPU saat itu menggunakan Pasal 338 KUH Pidana, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana sebagai dasar dakwaan terhadap Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorella.
Tetapi dalam putusan PN Jaksel, pada Jumat (18/3/2022), majelis hakim menyatakan, perbuatan melakukan pembunuhan tersebut, atas dasar terpaksa dan pembelaan diri. Sehingga menurut hakim PN Jaksel, dua anggota Polda Metro Jaya tersebut tak bisa dijatuhi hukuman pidana. Atas putusan tersebut, hakim memerintahkan dua terdakwa itu dilepaskan.
Tim JPU mengaku kecewa dengan putusan MA yang menolak kasasi kasus pembunuhan enam anggota laskar FPI. Ketua Tim JPU Zet Todung Allo menilai, hakim MA tak memiliki keberpihakan terhadap para korban pembunuhan yang dilakukan Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorella di KM 50 Cikampek itu.
“Kami sangat kecewa, dan sedih dengan putusan MA ini,” ujar Todung kepada Republika, lewat pesan singkatnya, Selasa (13/9/2022).
Menurut dia, perkara tersebut semestinya berujung pada pemidanaan. Karena terbukti di pengadilan pertama, dua terdakwa anggota Resmob Polda Metro Jaya itu melakukan pembunuhan. Namun, menurut dia, hakim MA memilih untuk menguatkan putusan PN Jaksel yang melepaskan dua terdakwa itu.
“Kami sebagai JPU mengedepankan hati nurani kami berdasarkan fakta-fakta yang sudah terbukti di pengadilan. Tetapi, hakim sepertinya punya pendapat lain yang itu sangat mengecewakan dan tidak memihak kepada korban,” ujar Todung.
Adapun Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara menyampaikan, lembaganya tak mempermasalahkan putusan tersebut. Meskipun, Komnas HAM pernah melabeli kasus pembunuhan laskar FPI sebagai unlawful killing.
"Komnas HAM menghormati putusan MA yang ada," kata Beka kepada Republika, Selasa.
Beka mengatakan, Komnas HAM sudah menunaikan tugasnya dalam kasus unlawful killing. Komnas HAM telah merampungkan penyelidikan atas kasus itu sekaligus mengungkapkannya dalam persidangan. Sehingga putusan yang muncul di pengadilan bukan lagi menjadi domain Komnas HAM.
"Terkait dengan hasil pemantauan dan penyelidikan kasus unlawful killing, Komnas HAM sudah menyampaikan pokok-pokok pemantauan, temuan dan rekomendasi yang ada pada saat sidang di pengadilan negeri Jakarta Pusat," ujar Beka.
Selain itu, Beka tak sepakat bila putusan ini bisa menjadi acuan aparat menggunakan dalih 'pembelaan darurat' saat menembak terduga pelaku kejahatan. Sebab, ia meyakini aparat tetap harus berpedoman pada aturan yang ada dalam bertindak.
"Saya kira putusan kasasi ini tidak bisa menjadi acuan aparat dalam bertugas. Aparat harus tetap mengacu pada Undang - undang yang ada termasuk peraturan kapolri no 8/2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tugas sehari-hari kepolisian republik Indonesia," ucap Beka.