REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Public Virtue menilai Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) seharusnya menjadi angin segar bagi perlindungan data warga Indonesia. Namun kajian Public Virtue menunjukkan RUU PDP turut menyelipkan bentuk halus pengawasan dan kontrol lebih negara atas warganya dengan dalih perlindungan.
Hal itu disampaikan Public Virtue dan sejumlah ahli hukum serta keamanan siber menanggapi rencana pemerintah mengesahkan RUU PDP. Pegiat Lab School of Democracy Public Virtue Josua Collins menilai keamanan data pribadi amat penting terutama bagi para generasi muda yang banyak memakai media sosial dengan mencantumkan informasi terkait identitas pribadi. Josua mengajak publik untuk tidak terlalu berbagi di media sosial.
"Harapannya Lembaga Pengawas Data Pribadi akan benar-benar independen, efisien, dan efektif sebagai buah konkret dari hadirnya RUU PDP," kata Josua dalam keterangan yang dikutip Republika pada Kamis (1/9/2022).
Pakar keamanan siber Teguh Aprianto membandingkan RUU PDP dengan General Data Protection Regulation (GDPR). Dia menemukan adanya ketentuan-ketentuan perlindungan data pribadi yang belum optimal apabila dibandingkan dengan GDPR.
"Jika kita berpedoman pada GDPR yang digunakan di Uni Eropa, RUU PDP perlu memuat demarkasi antara data umum dan data khusus," ucap Teguh.
Selain itu, Teguh menegaskan perlunya dibentuk lembaga pengawas data pribadi yang independen untuk menjamin bahwa data pribadi masyarakat tidak digunakan secara politis oleh aparatur pemerintah. "Bukan di bawah naungan Kominfo seperti yang telah diusulkan," sebut Teguh.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Arif Maulana menjelaskan pengaturan perlindungan data pribadi selama ini masih stagnan dan cenderung asal-asalan. "Persoalan ketidakadaan produk hukum yang mengatur mengenai data pribadi sering kali merugikan masyarakat lewat kasus-kasus doxing, peretasan, hingga pelanggaran hak pribadi," kata Arif.
Dia menegaskan kondisi tersebut turut mengancam kehidupan jurnalis, aktivis, hingga mahasiswa yang kritis kepada pemerintah. "Harapannya pembahasan RUU PDP bisa transparan dan melibatkan deliberasi publik, sehingga publik dapat mengetahui substansi secara materiil," lanjut Arif.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyoroti realita demokrasi Indonesia yang sudah menjadi flawed democracy atau demokrasi yang cacat dan partly free democracy atau demokrasi yang separuh bebas. Menurut dia, RUU PDP harus berpegang kepada nilai-nilai HAM, pembatasan kewenangan, akuntabilitas, dan transparansi kepada publik.
"Masyarakat perlu mengawal proses pembentukan RUU PDP agar tidak terjadi penyempitan ruang publik. Lembaga Pengawas Data Pribadi jangan menjadi perpanjangan tangan penguasa untuk intervensi ruang digital yang berlebihan dan tidak akuntabel," tegas Bivitri.