Selasa 30 Aug 2022 06:42 WIB

Komnas HAM Ingatkan Polri Kuatkan Pembuktian dalam Pembunuhan Brigadir J

Pengakuan para tersangka bisa dicabut dan dibantah dalam pengadilan.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus raharjo
Mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo (tengah) berjalan keluar dari ruang sidang usai menjalani sidang kode etik di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta, Jumat (26/8/2022).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo (tengah) berjalan keluar dari ruang sidang usai menjalani sidang kode etik di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta, Jumat (26/8/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyarankan tim penyidik Bareskrim Polri, tak hanya mengacu pada pengakuan dalam pengusutan tuntas kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J). Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengingatkan, agar penyidik menguatkan pembuktian yang maksimal untuk memastikan penegakan hukum terhadap para tersangka.

Taufan menuturkan, proses penyidikan oleh Polri dalam kasus pembunuhan Brigadir J selama ini, terlalu mengacu pada pengakuan dari para tersangka. Meskipun pengakuan adalah salah satu bukti yang dapat diterima. Namun menurutnya, pengakuan adalah selemah-lemahnya bukti.

Baca Juga

“Pandangan saya, pengakuan ini sangat riskan (berisiko),” ujar Taufan saat ditemui di Kantor Komnas HAM di Jakarta, Senin (29/8/2022).

Kata Taufan, selama ini, yang mencuat dari hasil penyidikan, ada tiga pengakuan. Pengakuan dari tersangka Bharada Richard Eliezer (RE) yang mengaku melakukan penembakan terhadap Brigadir J. Dalam pengakuan Bharada RE juga menyampaikan, bahwa ia melakukan penembakan terhadap Brigadir J, atas perintah dari tersangka Inspektur Jenderal (Irjen) Ferdy Sambo.

Bharada RE, juga dalam pengakuannya menyampaikan, Irjen Ferdy Sambo yang turut melakukan penembakan terhadap Brigadir J. Pengakuan lainnya, dikatakan Taufan, berasal dari Irjen Sambo sebagai tersangka utama. Namun berbeda dengan yang disampaikan Bharada RE, bahwa mantan kadiv Propam itu, tak mengaku tentang dirinya yang turut melakukan penembakan terhadap Brigadir J.

Meski begitu, kata Taufan, dalam pengakuannya juga, Irjen Sambo mengaku yang memberikan perintah kepada Brigadir J, untuk melakukan penembakan terhadap Brigadir J. Dan dari pengakuan Irjen Sambo juga, kata Taufan, ia yang memberikan pistol milik tersangka Bripka Ricky Rizal (RR), kepada Bharada RE, untuk menembak mati Brigadir J.

Pengakuan lainnya, dikatakan Taufan, berasal dari tersangka Putri Candrawathi Sambo (PC) yang mendapatkan pelecehan dari Brigadir J, saat di Magelang, Jawa Tengah (Jateng). Peristiwa pelecehan tersebut, pun kata Taufan, masih dicurigai sampai saat ini, lantaran sebelumnya, para tersangka dugaan pelecehan tersebut terjadi di Duren Tiga 46 di rumah dinas Irjen Sambo.

Pengakuan tentang adanya pelecehan itu juga, yang dalam pengakuan Irjen Sambo, sebagai pangkal sebab ia memerintahkan membunuhan Brigadir J. “Kalau besok mereka mencabut pengakuan bagaimana?,” kata Taufan melanjutkan.

Sebab itu, dikatakan Taufan, agar penyidik tak menjadikan pengakuan para tersangka sebagai basis utama bagi penyidik, dalam pengungkapan fakta hukum, maupun dasar perumusan peristiwa pidana atas kasus pembunuhan Brigadir J. “Sekarang, bagaimana memastikan, dan membuktikan Richard (RE) nembak sekian kali, di bagian mana. Sambo nembak bagaimana, di bagian mana, berapa kali. Itu sekarang yang penting. Jangan nanti dibawa ke pengadilan, Richard mencabut semua pengakuannya. Sambo nanti, lain lagi ceritanya,” terang Taufan.

Komnas HAM, kata Taufan menyarankan, agar tim penyidik di Bareskrim Polri, berhati-hati dalam menerima pengakuan dari para tersangka, tanpa disertai dengan alat bukti, atas peristiwa yang sebenarnya. “Kita (Komnas HAM) mewanti-wanti, supaya semaksimal mungkin mencari barang bukti pendukung lainnya. Jangan terlalu bergantung pada pengakuan. Karena pengakuan, bisa dicabut di pengadilan,” kata Taufan.

Terkait dengan ragam pengakuan dari para tersangka selama ini, Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal (Brigjen) Andi Rian Djajadi, pernah menerangkan, pengakuan dari para tersangka, bukan satu-satunya andalan tim penyidik dalam pembuktian kasus pembunuhan Brigadir J. Hal tersebut, dikatakan dia, saat tim penyidiknya, memeriksa tersangka Irjen Sambo, di sel tahanan Mako Brimob, Kamis (11/8/2022) lalu.

Dalam pemeriksaan tersebut, kata Andi Rian, Irjen Sambo mengakui perbuatannya, yang merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir J. Irjen Sambo, kata Andi Rian juga mengaku yang memerintahkan Bharada RE, untuk melakukan penembakan terhadap Brigadir J. Kata Andi Rian, pengakuan dari Irjen Sambo, waktu itu, sekaligus menjelaskan tentang aksinya dalam melakukan obstruction of justice, atau penghalang-halangan penyidikan, agar kasus pembunuhan Brigadir J tersebut, tak terungkap ke publik.

Akan tetapi, kata Andi Rian, pengakuan tersebut, hanya sebatas penjelasan tentang latar belakang, atau motif, serta kronologis versi Irjen Sambo. Andi Rian optimistis, tim penyidiknya, memiliki bukti-bukti yang kuat untuk diajukan ke persidangan, dalam mengungkap peran, ataupun peristiwa lengkap atas kematian Brigadir J. “Kita bersyukur, yang bersangkutan mengaku. Tetapi, kalau pun tidak mengaku, kita sudah memiliki bukti-bukti yang kuat,” ujar Andi Rian waktu itu.

Kasus kematian Brigadir J, menetapkan lima orang sebagai tersangka. Tersangka pertama dalam kasus ini, adalah Bharada Richard Eliezer (RE), Rabu (3/8/2022). Tersangka kedua, Bripka Ricky Rizal (RR), Ahad (7/8/2022). Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, pada Selasa (9/8/2022) mengumumkan penetapan tersangka Irjen Sambo, selaku Kadiv Propam sebagai tersangka, bersama pembantunya, Kuwat Maruf (KM).

Pada Jumat (19/8/2022) Ketua Tim Gabungan Khusus, Komisaris Jenderal (Komjen) Agung Budi Maryoto, mengumumkan Putri Sambo sebagai tersangka kelima. Kelima tersangka tersebut, dituduh melakukan pembunuhan berencana, subsider pembunuhan, dan bersama-sama melakukan pembunuhan, serta memberikan sarana untuk kejahatan menghilangkan nyawa orang lain. Tim penyidik menjerat kelimanya dengan sangkaan Pasal 340 KUH Pidana, subsider Pasal 338 KUH Pidana, juncto Pasal 55, dan Pasal 56 KUH Pidana. Kelima tersangka tersebut, terancam hukuman mati, atau penjara seumur hidup, atau minimal 20 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement