REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya mengatakan, revisi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) harus berdasarkan pendekatan saintifik serta melalui evaluasi menyeluruh dan objektif.
Revisi UU tentang Polri, seperti disampaikan sejumlah pihak, tidak bisa dilakukan hanya karena merespons terhadap kasus pembunuhan berencana yang menjerat mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Pol. Ferdy Sambo.
"Saat ini tayangan televisi menampilkan 'sinetron' Sambo, lalu kita merevisi UU Kepolisian karena itu? Salah besar itu, karena merevisi sebuah undang-undang tidak boleh emosional, namun harus objektif," kata Willy, Jumat.
DPR, sebagai institusi pembuat produk legislasi, tidak akan secara reaktif merespons kondisi yang terjadi di masyarakat. DPR harus bersikap cermat dan objektif. Dalam sistem bernegara, menurutnya, Indonesia tidak bisa melakukan revisi undang-undang dengan alasan by response.
Willy menjelaskan dalam negara demokrasi, peran kepolisian harus dimiliki oleh tiap warga negara; sehingga harus ada evaluasi menyeluruh terhadap kasus yang terjadi saat ini di institusi Polri.
"Kita jangan larut dalam 'sinetron' Sambo. Jangan melodramatis karena nanti bisa masuk 'jebakan Batman'. DPR sebagai pembuat undang-undang tidak reaktif, namun akan melihat persoalan secara cermat dan objektif," ujarnya.
Dia mengatakan solusi dari sebuah persoalan bukanlah merevisi sebuah undang-undang. Menurut dia, bisa jadi persoalan itu munculpada implementasi peraturan dan pengawasan yang dilakukan petugas di lapangan,bukan karena di level aturan.