REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Lembaga anti korupsi Indonesia Memanggil 57 Institute (IM57+) meminta Pemerintah mengerahkan aparatnya di luar negeri guna mempercepat penuntasan kasus korupsi yang menjerat bos PT Duta Palma Group, Surya Darmadi.
Kejaksaan Agung akhirnya menjerat Surya Darmadi dengan pasal berlapis yaitu korupsi dan pencucian uang terkait penguasaan 37 ribu hektare lahan ilegal di Indragiri Hulu, Riau.
Ketua IM57+ Institute M Praswad Nugraha menyebut Indonesia memiliki atase kepolisian, atase intelejen, dan atase militer di hampir di seluruh kedutaan di luar negeri. Dia meyakini mereka bisa diandalkan dalam upaya pemberantasan korupsi.
"Mereka bisa digerakkan dalam mengumpulkan informasi terkait para megakoruptor yang kabur keluar negeri, tidak hanya terkait orang, namun juga melakukan pendeteksian aliran uang serta aset negara yang dibawa kabur keluar negeri," kata Praswad dalam keterangan yang dikutip Republika pada Sabtu (6/8/2022).
Praswad menyampaikan banyak mekanisme dan koordinasi yang bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang bisa efektif untuk membekukan aset dan mengembalikan koruptor yang kabur keluar negeri.
Salah satunya Mutual Legal Assistance (MLA) atau perjanjian saling bantuan hukum yaitu perjanjian antara dua negara asing untuk tujuan informasi dan bertukar informasi dalam upaya menegakkan hukum pidana. "Sehingga nantinya mereka untuk kemudian bisa diadili di Indonesia," ujar Praswad.
Oleh karena itu, Praswad menegaskan untuk level koruptor skala puluhan triliun seperti di kasus Duta Palma memang membutuhkan komitmen kuat dari negara. Terutama dari Presiden Joko Widodo selaku pemimpin negara agar menggerakkan seluruh institusi di bawah kekuasaannya.
"Hal ini guna memaksimalkan seluruh lembaga penegak hukum dan intelejen yang ada dalam mengejar Surya Darmadi di seluruh dunia," ucap Praswad.
Diketahui, Surya Darmadi selaku pemilik Duta Palma Group menjadi induk dari lima perusahaan yaitu PT Banyu Bening Utama, PT Panca Argo Lestari, PT Seberida Subut, PT Palma Satu, dan PT Kencana Alam Tani. Sejumlah perusahaan tersebut, menurut Jaksa Agung, terbukti otentik sebagai milik dari Surya Darmadi.
Pada 2003, Surya Darmadi bersama dengan tersangka Raja Tamsir, Surya melakukan kesepakatan yang melanggar hukum. Yaitu persekongkolan jahat untuk mendapatkan, mempermudah, serta memuluskan perizinan kegiatan usaha budidaya perkebunan kelapa sawit.
Dalam kegiatan tersebut, Surya meminta agar Raja Tamrin sebagai kepala daerah, memberikan izin kegiatan usaha pengelolaan kelapa sawit melalui HGU kepada lima anak perusahaannya.
Namun, yang mereka pakai adalah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) di hutan produksi terbatas (HPT) dan lahan hutan penggunaan lainnya (HPL) di wilayah Indragiri Hulu, Riau.
Dalam penerbitan HGU itu, Raja Tamrin memberikan kemudahan dengan pembuatan kelengkapan perisinan terkait lokasi dan izin usaha perkebunan. Pembuatan izin tersebut dilakukan tanpa adanya izin prinsip dan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).